Wednesday, June 29, 2022
COVID-19 DARI PANDEMI KE EPIDEMI: BAGAIMANA SIKAP KITA?
Dua tahun sudah kita hidup dalam kondisi pandemi COVID-19, dan tentunya wajar kalau kita bertanya-tanya apakah kita akan menghabiskan sisa hidup ke depan dengan memakai masker kemana pun kita pergi; mendapat booster setiap tahun; membatasi kontak fisik dengan teman-teman dan sanak saudara; dan harus selalu waspada dengan berita-berita mengenai kenaikan kasus COVID-19?
Tentu saya tidak sendirian jika mengatakan bahwa saya sudah lelah atau jenuh dengan cara hidup seperti di atas. Keinginan agar semua aspek kehidupan bisa kembali seperti "sediakala", misalnya, kiranya pernah tersirat satu dua kali di benak kita semua. Dan keinginan atau doa ini seakan-akan segera "terkabul", karena belakangan ini negeri kita faktanya telah mengalami penurunan dalam kasus penyebaran COVID-19 (walaupun dengan catatan, ada sedikit kenaikan yang terjadi belakangan ini) dan pemerintah mulai menyusun rencana peralihan status pandemi COVID-19 menjadi endemi.
Dalam perbincangan publik terkait ihwal ini terlihat seakan-akan pemerintah, dan imbasnya masyarakat Indonesia, menganggap COVID-19 adalah sesuatu yg terkendali penyebarannya dan kehidupan pun bisa kembali “normal”. Pertanyaannya: Apakah anggapan seperti ini bijak?
Pertama, saya rasa kita harus mulai dengan definisi dulu agar supaya kita semua mempunyai pemahaman yang sama mengenai hal ini. Dengan kata lain, kita harus jelas apa definisi dari "pandemi" dan "endemi" itu sendiri. Seperti yang didefinisikan oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), pandemi merujuk ke sebuah kondisi ketika penyebaran suatu penyakit telah melampaui batasan negara atau wilayah geografis. Contohnya sudah pasti: COVID-19 yang sampai sekarang sudah tersebar di hampir seluruh negara di muka Bumi. Contoh lain adalah wabah Flu Spanyol (Spanish Influenza) yang juga pernah melanda di akhir Perang Dunia I. Berikutnya, dan yang paling banyak diungkit saat memperbincangkan pandemi, adalah Maut Hitam (the Black Death), sebuah pandemi penyakit Bubo (pembengkakan kelenjar getah bening) yang melanda benua Eropa di abad 14 dan merenggut sedikitnya 75 juta jiwa!.
Sementara itu, definisi endemi adalah kondisi ketika penyebaran suatu penyakit yg secara konsisten di dalam satu populasi yg menempati suatu area geografis tertentu dan pada suatu waktu tertentu. Suatu penyakit dapat dikategorisasikan sebagai penyakit endemik, jika pola dan kecepatan penyebarannya sudah bisa diprediksi sehingga sistem kesehatan di tempat tsb tidak kewalahan menangani jumlah pasien. Contoh penyakit-penyakit yg endemik antara lain: Malaria yang endemik di wilayah Papua, HIV/AIDS yang endemik di daerah Afrika sub-Sahara dan Afrika Selatan, Tuberkulosis dan demam berdarah (dengue fever) di Indonesia.
Jadi perbedaan antara pandemi dan endemi hanyalah dari lingkup persebarannya saja, bukan dari tingkat keparahan penyakitnya. Sebagai contoh, penyakit Malaria lebih mematikan dibanding COVID-19, tapi karena malaria tidak menular secepat dan semudah COVID-19, dia tetap diklasifikasikan sebagai endemi, bukan pandemi.
Lalu bagaimana caranya sebuah penyakit bisa transisi dari pandemi menjadi endemi? dan apakah sudah ada penyakit yg seperti COVID-19 yg menjadi penyakit endemic?
Jadi kesimpulannya: Memang ada penyakit yang sudah beralih dari sebuah pandemi ke endemi, namanya Influenza, Flu atau pilek.
Penyakit Flu yang pada awalnya sangat menular (dan mematikan) ini lambat laun menjadi penyakit musiman yg hanya muncul di suatu populasi pada saat-saat tertentu seperti saat peralihan musim dari panas ke musim dingin. Dikarenakan jenis virus yg menyebabkan COVID-19 (SARS-CoV-2) berasal dr “keluarga” yang sama dengan virus influenza, banyak ahli yang memprediksi bahwa virus SARS-CoV-2 tidak akan hilang dari peredaran (akan selalu ada selamanya) dan lambat laun, dan melalui riset yang intensif, kita akan bisa memprediksi pola dan kecepatan persebaran varian-varian baru (yang sudah pasti akan tercipta) dari virus ini. Ditambah dengan kemajuan2 dari pengobatan & vaksin-vaksin yang ada, sebuah penyakit lambat laun akan bisa diatasi dan menjadi sebuah penyakit yg penyebarannya terkontrol.
Akan tetapi, sangatlah tidak bijak jika kita menganggap bahwa karena suatu saat COVID-19 akan menjadi endemi, lantas kita bisa bersikap santai atau lengah menghadapinya. Ingat, hanya karena sebuah penyakit diklasifikasikan sebagai endemi bukan berarti dia tidak mematikan. Apalagi, tidak ada jaminan bahwa varian-varian COVID-19 yang akan datang akan lebih jinak dibanding yang sudah beredar sekarang. Untuk sementara, subvarian BA.4 dan BA.5 dari varian Omicron diketahui lebih cepat menular dibandingkan Omicron, hanya saja tingkat keparahannya tidak melebihi tingkat keparahan varian Omicron. Bahkan data yang ada sampai sekarang menunjukkan bahwa tingkat keparahan dan mortalitas nya cenderung lebih rendah dibandingkan varian Omicron sebelumnya. Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan bahwa subvarian BA.4 dan BA.5 ini lebih mampu "menghindari" deteksi dari sistem imunitas tubuh kita ketimbang varian-varian sebelumnya.
Pertanyaan yg tak kalah penting selanjutnya: Apa yang akan terjadi ke depan dengan perubahan tsb? Sejujurnya, tidak ada yang tahu. Meskipun pemerintah tetap mempersiapkan skenario-skenario transisi pandemi menuju endemi, namun tetap besar kemungkinan bahwa subvarian-subvarian Omicron baru akan muncul. Jika pola mutasi yang ada sekarang berlanjut, maka kedepannya kita mungkin akan semakin banyak menemukan subvarian yang lebih cepat menular, tidak mematikan dan lolos dari sistem imun tubuh.
Salah satu kemungkinan yang diharapkan adalah COVID-19 akan menjadi penyakit musiman yang kemunculan nya bisa diprediksi dan gejala nya menjadi semakin ringan. Akan tetapi, masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab melalui riset seperti jenis obat dan perawatan apa saja yang paling berguna untuk mengatasi gejala COVID-19 maupun gejala-gejala long COVID yang diderita sebagian penyintas COVID-19.
Jadi kuncinya adalah: Tetaplah menjalankan protokol kesehatan meskipun kita mungkin sudah merasa jenuh dan lelah; batasi mobilitas anda; dan laksanakan vaksinasi (apalagi jika anda punya komorbid atau sistem imunitas lemah). Sekian.
0 comments:
Post a Comment