Akhir-akhir ini dalam diskursus dan praksis politik di negeri ini seringkali kita dapati tema politik identitas yg, sayangnya, sering dikonotasikan secara NEGATIF saja. Padahal siapa sih yg tak punya identitas kalau masih bernama dan bagian dari jenis manusia? Pemahaman yg tak kontekstual dan gebyah-uyah memang acap kali tak produktif. Alih-alih malah membuat bahan kegaduhan lain.
Padahal, mungkin persoalannya adalah pada bagaimana kita meletakkan identitas tsb pada maqom atau konteks yg relevan. Di samping itu, mungkin juga pemakaian identitas sangat terkait dg bagaimana si pengujar itu sendiri apakah memang cukup punya kredibilitas atau cuma dianggap sebagai retorika utk meraih tujuan & kepentingan politik sesaat saja.
Nnah, dalam hal terakhir itu saya ingin mengajak anda belajar dari almaghfurlah GD, cara bagaimana beliau mengelola identitas unruk kebaikan unklusi dan jauh melampaui kepentingan kelompok identitas itu sendiri. Almaghfurlah berangkat dan mengapropriasi wacana identitas etnis tertentu justru dwmi kepentingan kebangsaan yg lebih luas dan, ya, bahkan kepentingan nilai kemanusiaan semesta!
Lalu supaya fair, saya juga menggunakan perbandingan dg pihak yg masih kesulitan melakukan pengelolaan dalam wacana identitas, sehingga malah mbulet dan jadi kontraproduktif. Jadi persolan identitas sejatinya bukanlah negatif dalm dirinya sendiri (in itself atau an sich). Seperti dalam banyak hal, kata arau ujaran bergantung kepada pemaknaan dan relasi2 di luarnya: sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Anda pasti masih ingat atau setidaknya pernah baca atau melihat bagaimana almaghfurlah GD acap memakai ujaran bahwa beliau punya darah keturunan Tionghoa. Bahkan dalm banyak pidaronya, GD menyebut ber marga (she) Ma, salah satu marga Tionghoa. Konon, leluhur beliau bisa dilacak dari tanah leluhur ernis Tionghoa di daratan Tiongkok.
Dengan mengapropriasi waxana sebagai orang beridentitas non pri tsb, GD berusaha meyakinkan publik (dikomunitas nahdliyyin atau di luarnya) bahwa hal tsb tak menghalangi beliau utk bervisi, berkiprah, dan memperjuangkan ide kebangsaan Indonesia yg inklusif. Di samping itu beliau mendidik bangsa ini agar tidak picik dan xenophobia. Kenyataannya, agama Islam pun disebarkannantara lain dari negeri dan para Ulama beretnis Tionghoa, selain ada yg Arab atau bahkan Persia, India dsb!
Dengan jurus apropeiasi identitas etnis Tionghoa tsb, apakah lantas GD dimarginalisasi atau dituding sebagai antek asing dan aseng? Secara faktual dan umum di ketahui, TIDAK. Malah ketika beliau menjadi Presiden RI beliau berhasil menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional dan menjadikan beliau tokohbyg dihormati sebagai Bapak Pluralisme dan Bapak Bangsa Indonesia!
Tetapi sebaliknya ada beberapa tokoh yg berusaha keras menghapus jejak idenritas dengan mencoba melupakan etnis aslinya dan mengklaim sebagai bagian etnis terbesar di Indonesia. Tentu niatnya adalah memakai identitas baru yg lebih mayoritas dan menyembunyikan identitas yg dianggapnya kurang menguntungkan dalam perlombaan politik di negeri ini! Usaha ini juga sah-sah saja secara instrumental asalkan tidak melahirkan kebencian dan menafikan inklusifisme.
Sayangnya justru upaya pengelabuan identitas ini malah "kontraproduktif." Alih-alih, publik malah makin beropini utk membuktikan SEBALIKNYA: Bahwa oknum ini memang aslinya dari etnis asing dan tak ada kaitan dg suku asli di negeri ini. Di ruang publik juga malah menjadi bahan kampanye hitam yg mencemarkan nilai demokrasi yg sedang kita bangun. Yakni demokrasi inklusif yg saling menghargai, merayakan dan menghormati liyan!
Mengapa langkah identitas GD berhasil sedang yg satu lagi tidak? Sejarah yg akan mencatat. Tetapi hemat saya, salah satu sebabnya adalah landasan etik yg dipakai dlm kedua kasus politik identitas tsb memang jauh berbeda. GD mengutamakan nilai kejujuran, keterbukaan, dan kesiapan untuk memertanggungjawabkan sesuai dg landasan erika dan konstitusi. Semantara yg satunya hanyalah berlandaskan pragmatisme dan keberhasilan jangka pendek.
GD almaghfurlah melakukan manajemen identitas berdasar apa yg disebut Juergen Habermas sebagai rasionalitas emansipatoris (pembebasan), sedangkan yg satunya memakai rasionalitas instrumental dg tujuan meraih kemenangan politik kekuasaan! IMHO.
Al-Fatihah utk almaghfurlah GD🤲🤲🌹
0 comments:
Post a Comment