Wednesday, August 11, 2021
HAPUS ANGKA KEMATAN COVID19, LEGITIMASI POLITIK & ETIK PJ
Ada kabar yg menurut hemat saya bisa berdampak negatif thd legitimasi etis dan politis dari Pemerintah PJ dalam penanganan epidemi Covid-19, baik pada aras nasional maupun internasional. Yaitu kabar bahwa Luhut Binsar Panjaitan (LBP), dalam kapasitasnya sebagai koordinator PPKM, akan menghapus angka kematian sebagai bagian daLAM laporan indikator penanganan Covid19 nasional atau PPKM. Indikator tsb jelas merupakan sebuah praktik yang diikuti dan diterapkan secara internasional dan, pastinya, digunakan WHO dalam laporan penanganan Covid-19 di seluruh dunia. Tentu saja Indonesia juga termasuk di dalamnya, setidaknya sebelum LBP menggagas cara pelaporan yang akan menghilangkan angka kematian tsb. Argumen LBP adalah bhw angka kematian tak perlu dimasukkan lagi, karena adanya kesimpangsiuran atau disharmoni data. Jika masig terjadi kesipansiuran tsb, demikian logika yg dipakai, maka lebih baik jika ditiadakan dulu. Mungkin tujuannya agar tidak terjadi kegaduhan, debat, dan kekisruhan dalam masyarakat. Kalau benar alasan itu yg dipakai, maka menurut hemat saya justru akan merugikan Pemerintah PJ dari sisi legitimasi politik dan etik. Secara politik, langkah tsb akan dijadikan "bukti" bhw tidak ada political will dari pemerintah untuk mengelola masalah strategis penanganan pandemi secara koprehensif dimulai dr masalah data yg terpercaya ditkt nasional. Inplikasinya, pengelolaan kebijakan hanya reaktif, tambal sulam, gonta ganti, dan inkonsisten! Secara etik, cara yg ditempuh dengan menghilangkan angka kematian dlm indikator pelaporan tsb akan semakin meningkatkan distrust, bukan saja dari dalam negeri maupun internasional. Jika demikian, fenomena terjadinya berbagai kritik terhadap PJ akan makin diperkuat dengan gagasan LBP tsb. Reaksi2 yang bernada miring thd motif kebijakan penggapusan angka kematian ini akan cenderung bertambah dari masyarakat sipil (civil society) dan masyarakat politik (political society). Indonesia akan semakin dibaca oleh komunitas internasional sebagai contoh buruk sebuah negara dan pemerintah dalam menangani pandemi yang tak kunjung ada tanda2 mereda ini. Alih-alih negara demokrasi terbesar nomor tiga ini menampilkan diri sebagai contoh keteladanan untuk praktik yang baik (best practices) bagi negara2 disekitarnya, ia malah memelopori pemakaian cara2 manipulatif seperti "penyembunyian" data dari rakyatnya dan publik dunia. Apa yg akan didapat oleh PJ? Selain akan bikin kesal parpol pendukungnya, karena akan menganggu hajatan pada 2024, ini juga akan memantik kebingungan para pendukung setianya. IMHO. Simak tautan ini: 1. https://youtu.be/msbXsnh8feI 2. https://nasional.kompas.com/read/2021/08/10/14210331/pemerintah-hapus-angka-kematian-dari-indikator-penanganan-covid-19-karena 3. https://nasional.kompas.com/read/2021/08/10/14580681/angka-kematian-covid-19-tak-lagi-jadi-indikator-penentuan-level-ppkm 4. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210810190934-20-678942/pakar-pengendalian-covid-semakin-gelap-tanpa-data-kematian 5. https://bisnis.tempo.co/read/1493279/laporcovid-19-pertanyakan-keputusan-luhut-hapus-data-kematian-di-evaluasi-ppkm
0 comments:
Post a Comment