Memerangi korupsi sudah pasti bisa didekati dengan berbagai pemahaman: legalistik, politik, etik, budaya, dll. Sering kita menanggapi bahaya korupsi dengan menempatkannya sebagai sebuah godaan. Dengan pendekatan demikian, solusi moral dikedepankan seakan jika seseorang atau kelompok sudah menampilkan citra moralistik lantas dianggap atau diharap akan imun dr "godaan" tsb.
Sayangnya, kenyataan empiris praktik tipikor di masyarakat dan negeri kita seolah diametral bertentangan dengan anggapan dan pendekatan itu. Saya kira bukan berarti pendekatan itu keliru, tetapi mungkin tidak bisa eksklusif, apalagi satu-satunya, untuk dipakai sebagai terapi penyembuh.
Maka perlu ada pendekatan yang rada "disruptif": bahwa tren korupsi cenderung marak karena memang ia memiliki "daya tarik" atau attraction tertentu. Misalnya, bisa saja daya tarik itu adalah adanya fakta dalam kenyataan bahwa apa yang akan diterima sebagai sanksi, kalau ketahuan atau tertangkap, ternyata lebih kecil ketimbang keuntungan yang diperoleh. Apalagi jika secara sosial budaya, ternyata pelaku tipikor kakap tetap saja mendapat pengakuan bahkan penghormatan yang sama dengan mereka yang "bersih." (Simak gambar di atas: 50 koli uang hasil korupsi Bansos. Sumber: Harian Kompas)
Korupsi sebagai sesuatu yg atraktif ini makin "menarik" ketika hukum tak bunyi dan tak memerhatikan dimensi rasa keadilan masyarakat. Maka pertimbangan "cost & benefit" dari tipikor akan makin njomplag menuju dorongan ketimbang penjeraan. Kita tentu keplok ketika KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian berhasil dalam OTT atau membongkar tipikor. Tetapi kita akan langsung dikecewakan ketika para Hakim di Pengadilan, dengan dalih kepastian hukum, memvonis para terdakwa tipikor dg sanksi ringan, super ringan, atau malah dibebaskan.
Kerugian yang ditimbulkan oleh inkonsistensi hukum ini bukan hanya negara secara finansial, tetapi juga, dan yang lebih parah, adalah kualitas masyarakat dan bangsa kita yang punya sila kemanusiaan yg adil dan BERADAB. IMHO.
0 comments:
Post a Comment