Setelah FB melakukan "take down" thd postingan dan status2 yg menyebut nama terang sang imam, kini giliran YouTube melakukan take down thd kanal Fr**t TV yg dikenal sbg milik salah satu organisasi pendukungnya. Apakah Twitter dll juga ke depan akan melakukan hal sama? Masih bisa jadi bahan spekulasi, walaupun orang akan menebak demikian.
Adanya indikasi "sensor" yg sedang dilakukan oleh beberapa korporasi-2 IT raksasa (Facebook, YouTube, Google, dll), dalam konteks Indonesia, jelas merupakan sebuah laku yg potensial menabrak salah satu prinsip demokrasi, dalam hal ini kebebasan berekspressi dan perbedaan pendapat di ruang publik. Korporasi, sebesar dan sekuat apapun ia, bukanlah sebuah negara atau pemerintah yg dalam situasi tertentu memang diberi hak oleh aturan hukum (nasional maupun inteenasional) untuk bisa melakukan pembatasan terbatas thd hak-hak asasi warganegaranya.
Argumentasi yg sering dipakai oleh korporasi bhw mereka punya standar komunitas (community standards) bg penggunanya ( yg juga menyetujui utk mengikutinya), masih debatable apakah legitimate sebagai alat sensor tsb. Sebab, untuk mengajukan keluhan dan protes ke pengadilan melawan "sensor" tsb, bukan saja sangat mahal ongkosnya, juga prosesnya bakal lama.
Korporasi, termasuk yg memiliki hegemoni dalam mengontrol informasi, adalah sebuah fenomen yg bisa menjadi alat kekuasaan untuk menyerimpung praksis demokrasi. Meskipun juga pada saat yg sama mereka juga bisa menjadi alat pencerah dan edukasi kpd warganegara untuk memerkuat gagasan dan ide demokrasi.
Simak tautan ini:
1. https://youtu.be/d5mBZQJGO5M
2. https://theintercept.com/2020/10/15/facebook-and-twitter-cross-a-line-far-more-dangerous-than-what-they-censor/
3. https://www.cnbc.com/2020/10/15/kelly-evan-the-big-tech-censorship-confusion.html
4. https://www.economist.com/briefing/2020/10/22/social-medias-struggle-with-self-censorship
5. https://www.politico.eu/article/opinion-big-tech-censorship-google-transparency/
0 comments:
Post a Comment