Sulit membantah bahwa bangsa Amerika adalah bangsa yang mengklaim sebagai paling relijius. Kendati Konstitusinya terang2an adalah mengikuti sekularisme, tetapi salah satu motto yg paling terkemuka negara adidaya tsb adalah "In God We Trust." Juga sulit dibantah bahwa para pendukung utama Presiden Donal Trump adalah kalangan ultra konservatif Kristen Evangelis, baik kulit putih atau berwarna.
Jadi rada mengherankan jika ketika sang POTUS (President of the United States) berpose mengangkat Alkitab di tangan kanan di depan Gereja St. John di dekat taman Lafayette, dekat Gedung Putih, lantas banyak komen yang kritis. Dan justru komen2 kritis tsb termasuk dari Pemimpin umnat Kristiani, baik Katolik maupun Protestan. Tentu saja banyak juga tokoh2 Kristen Evangelis yg memuji laku Trump tsb.
Kritik yg dilontarkan kepada Trump bukanlah karena soal photo-op itu belaka. Tetapi kaitan antara apa yg diucapkan dan dilakukan sang Presiden sebelum tampilan di depan gereja itu terjadi. Trump dikritik karena sikapnya dan sikap para aparat keamanan yg mengawalnya dalam memahami dan mengelola peristiwa protes massa pasca terjadinya pembunuhan thd George Floyd di Minneapolis, Minnesota. Presiden Trump cenderung mencap protes itu sebagai ulah para pengacau atau bahkan kriminal (thugs) dan berjanji akan menggunakan cara militer utk menumpasnya di seantero negeri. Dalam siaran persnya, Trump menyarakankan agar aparat kepolisian "mendominasi" para pemrotes dengan kekerasan.
Bukan berarti bhw protes massal di berbagai kota dan negara bagian AS, termasuk di ibukota negara Washington, DC, semuanya damai dan tanpa kekerasan. Faktanya memang ada kelompok dan pribadi2 yg memanfaatkan kemarahan dan kekacauan publik tsb untuk melakukan onar dan penjarahan serta pembakaran serta kekerasan thd publik dan aparat!
Namun tetap saja Trump, sebagai pemimpin bangsa, dianggaap tak semestinya menggunakan narasi kekerasan yg berpotensi akan makin menyulut kemarahan serta mempersulit pencarian solusi untuk meredam kebringasan sosial. Setidaknya, Trump diharapkan menampilkan citra sebagai seorang pemimpin yang paham terhadap akar masalah dan bukan malah menampilkan gestur simpati terhadap pendekatan kekerasan.
Tak pelak, para pengritik Trump dr kalangan pemimpin ummat beragama malah mengatakan bhw Tuhan beserta para pemrotes, dan menganggap foto di depan Gereja St. John tsb sebagai tindakan pencemaran (sacrilege) thd kesucian tempat ibadah tsb.
Seperti biasa, Trump tampaknya tak terlalu ambil pusing dengan para pengritiknya. Baginya kemenangan dalam Pilpres 2020 adalah segalanya, dan kondisi seperti saat ini, ketika kebijakan publiknya menghadapi wabah pandemi Covid19 tampak amburadul dan gagal mengerem jumlah korban di negaranya, maka ia pun tak malu2 untuk memakai lambang religiusitas dan aksi berwarna militeristik.
Yang pertama ditujukan untuk memobilisasi dukungan basis massa bawah dan menengah dari kalangan ultra konservatif, dan yang kedua menciptakan citra penimpin yang keras, tegas, dan membela gakkum dan ketenangan publik (Law and Order). Bukan tidak mungkin bhw dalam situasi krisis seperti sekarang ini di AS, kedua pendekatan tsb mampu menarik kembali dukungan para pemilihnya yg kini mulai menurun. Bahkan di kalangan partainya sendiri, Partai Republik, konon, sudah terjadi perubahan pandangan thd Trump.
Pemilihan narasi dan citra religiusitas yg dipilih sebagai strategi komunikasi politik oleh Trump, kendati mengundang kritik dari sementara kalangan pemimpin ummat Kristiani di AS, bukanlah tanpa rasionalitas politik. Sebab ia berbasis pada karakter budaya politik di AS yang, menurut sejarawan kondang Alexis de Tocqueville, ditengarai punya akar keagamaan yg kuat. Nilai agama adalah salah satu landasan di atas mana institusi politik Amerika dibangun oleh masyarakat sipilnya.
Dalam situasi krisis, termasuk krisis kepercayaan thd kepemimpinannya, kebijakan2 ekonomi dan sosialnya, Trump melihat agama dan simbol2 ekspressi keberagamaan sebagai alat yg ampuh untuk memperkuat dan mengembalikan daya tarik politiknya. Demikian pula citra sebagai pemimpin yg mengutamakan "Law and Order" adalah paling atraktif bagi pendukung yg sedang sangat berharap (desperate) kepada pulihnya kondisi normal. IMHO
Dalam situasi krisis, termasuk krisis kepercayaan thd kepemimpinannya, kebijakan2 ekonomi dan sosialnya, Trump melihat agama dan simbol2 ekspressi keberagamaan sebagai alat yg ampuh untuk memperkuat dan mengembalikan daya tarik politiknya. Demikian pula citra sebagai pemimpin yg mengutamakan "Law and Order" adalah paling atraktif bagi pendukung yg sedang sangat berharap (desperate) kepada pulihnya kondisi normal. IMHO
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment