Sejatinya masalah pokok penolakan RUU HIP bukanlah pada apakah TAP MPR XXV/66 ada dan dipakai sebagai salah satu konsiderannya ataukah tidak. TAP MPR itu jelas penting kehadirannya, tapi tak cukup sebagai raison d'etre (alasan utama) penolakan thd RUU HIP.
Sebab seandainya dlm konsideran RUU HIP ditambah dg TAP MPR XXV/'66, tapi pasal2 yg substansinya adalah "monopoli TAFSIR atas Pancasila" masih belum hilang, saya khawatir RUU tsb akan tetap menjadi sumber kegaduhan di negeri kita.
Inti masalah ada dua. Secara substantif RUU HIP berpotensi membuka jalan bagi monopoli tafsir atas Pancasila, sebuah pengalaman traumatik pada era rezim2 Orla dan Orba. Secara prosedural, parpol2 pengusul dan pendukung akan berusaha mencari celah utk menggolkan RUU tsb. Masih segar ketika UU Minerba dan KPK dibentuk dan ditetapkan dg menggunakan jurus "sluman slumun slamet" itu!
Maka publik harus sangat hati2 dalam memantau dinamika RUU HIP di DPR. Bukan hil yg mustahal jika kondisi teruk yg sedang terjadi akibat Covid19 ini dimanfaatkan oleh para politisi dan parpol di Senayan utk diam2 memproses RUU HIP tsb.
Pemerintah sekarang mungkin sedang merasa ditekan oleh banyak pihak dr kalangan masy sipil dan kaum oposan, terutama kelompok Islam politik. Maka ia lantas menyatakan belum memberikan persetujuan utk membahasnya. Tetapi jika rakyat meleng, hil yang mustahal bisa saja terjadi.
Karenanya, publik yg punya komitmen thd Pancasila sbg dasar negara dan menolak tafsir tunggal, mesti cermat. Tidak harus melakukan aksi demo apalagi dg kekerasan. Tetapi terus mendukung upaya2 organisasi masyarakat sipil yg sudah punya rekam jejak membela Pancasila dan demokratisasi dlm sejarah negeri ini. IMHO
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment