Pidato Presiden Joko Widodo (PJ) pada tgl 18 Juni 2020 mengundang berbagai tanggapan di kalangan politisi (pendukung maupun oposisi), pengamat politik, media dan media sosial, dan publik pada umumnya. Pada umumnya fokus tanggapan diberikan terutama pada satu tema: Reshuffle Kabinet. Ini tentu sangat bisa dimengerti karena bukan saja PJ menyinggung langsung ihwal kemungkinan reshuffle Kabinet dalam pidato selama lebih kurang 10 menit itu, tetapi juga karena isu reshuffle selalu menjadi bahan perbincangan politik yg menarik, baik dari pendukung Pemerintah maupun pengritiknya.
Isi dan konteks pidato tersebut sudah banyak dilaporkan media. Secara ringkas, PJ menyatakan kekecewaannya terhadap kelambanan para Menterinya dalam merespon sistuasi dan kondisi krisis atau 'extraordinary' (yang diulang-ulang oleh PJ) dan peringatan beliau bahwa kemungkinan akan diambil langkah-langkah yang juga 'extraordinary' olehnya; termasuk reshuffle Kabinet dan pembubaran lembaga-lembaga. PJ terutama menyinggung dengan cukup tegas Kementerian yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19, karena kelambanannya untuk merespon keperluan di lapangan, misalnya pencairan anggaran yang diperlukan padahal sudah tersedia.
Tak pelak, respon terhadap pidato yang langka tersebut nyaris seragam: Reshuffle tak terelakkan dan spekulasi pun langsung beredar akan terjadinya pelukiran terhadap sejumlah Menteri yang dianggap letoy dan lemot dalam menjalankan tugas. Tentu saja, nama Menkes termasuk yg selalu dianggap akan menjadi sasaran tindakan RI-1 tsb,
Dari kalangan parpol, gayung pun bersambut, termasuk parpol pendukung seperti PDIP yg salah satu politisi seniornya, Andreas Periera (AP), menganjurkan agar PJ segera melakukan reshuffle tsb. Dari parpol oposisi, PKS dengan antusias menyebut pentingnya PJ segera membuktikan reshuffle tsb. Bahkan Mardani Ali Sera (MA), salah seorang tokoh PKS, seperti memberikan ultimatum: Jika PJ tidak melakukan reshuffle dalam tempo sepekan ke depan (setelah tgl 28 Juni 2020), maka sang Presiden akan tidak dianggap serius dan beliau justru akan dianggap "tidak punya sense of crisis." Pentolan Partai Gerindra, Fadli Zon (FZ), kendati tidak bicara soal reshuffle secara terbuka, tetapi mengritik, lewat cuitan twitter, bahwa rakyat memerlukan "Kabinet Krisis", bukan "Kabinet Pesta."
Politisi Nasdem, partai pendukung PJ, berkomentar hati-hati dengan menunjuk kepada para Menteri agar segera tanggap terhadap peringatan sang Presiden. Menurut Willy Adiyta (WA), "pembantu-pembantu Presiden harus responsif, harus mampu menerjemahkan apa yang menjadi kemauan Presiden." Politisi dari PKB, parpol pendukung PJ, juga berhati-hati soal reshuffle. Kadir Karding (KK), misalnya, menyerahkan urusan reshuffle kepada RI-1: "(Jika) reshuffle dilakukan maka hal tersebut telah difikirkan matang oleh Jokowi." Dari partai independen, Demokrat, komentar tak berbeda jauh dengan kedua parpol sebelumnya. Syarief Hasan (SH), misalnya, mengingatkan bhw posisi partainya independen, sehingga urusan reshuffle itu adalah ".. hak preoregratif Presiden. Siapa yang akan diganti itu adalah hak Presiden. Kalau tidak baik ya reshuffle.."
Para pengamat cenderung lebih menganggap pidato dan peringatan PJ akan dilakukannya reshuffle Kabinet tsb merupakan pertanda akan terjadinya pergantian segera. Bahkan ada beberapa pengamat yang sudah "menyodorkan" nama-nama Menteri yg akan "aman" (dari kocok ulang) maupun yang "tidak aman". Ada pula yang menyatakan bahwa kesalahan ada pada PJ karena beliau telah salah pilih, sehingga perlu segera ambil langkah utk mengoreksi, yaitu dg reshuffle itu. Sedikit sekali yang menganggap pidato PJ adalah suatu peringatan keras, yang kendati luar biasa dan tak lazim, tetapi belum tentu harus ditindaklanjuti dengan segera melakukan kocok ulang Kabinet!
Saya termasuk dalam kelompok pengamat yg sedikit tsb. Alasan saya, kendati memang benar bhw PJ sangat tidak biasanya mengucapkan kata-kata keras seperti itu, tetapi hal itu tak harus ditafsirkan akan segera terjadi reshuffle. PJ jelas bisa melakukan reshuffle kapan saja, karena beliau punya prerogatif. Tetapi apakah itu perlu? Saya kira belum perlu. Sebab kondisi perpolitikan sedang sangat tidak tepat: di samping karena pandemi Covid-19 masih belum terkontrol, juga karena ada masalah yg secara politik sensitif seperti RUU HIP, dan kemandegan ekonomi. Semuanya memerlukan "sense of crisis," tetapi juga "political prudence" atawa kebijaksanaan politis! Meladeni dorongan melakukan reshuffle dalam kondisi sepert ini malah akan membuat "kriwikan" menjadi "grojogan" dan bahkan bisa menjadi bahan bakar bagi oposisi.
Jika benar bahwa kinerja sebagian para Menteri kurang greget, bahkan letoy dan lemot serta tak punya "sense of crisis," solusinya bukan hanya dengan melakukan pergantian, tetapi menggenjot kinerja mereka dengan pengawasan khusus dr tim Istana yg punya kapasitas dan tugas seperti itu, misalnya Kemensesneg, Kemenpan R/B, bahkan KSP. Demikian pula memanfaatkan Menko-menko yg ada untuk "menghardik" dan menggenjot kinerja Kementerian-kementerian yang masih loyo. Melukir Menteri memang kelihatan jalan mudah, tetapi belum tentu akan segera membawa hasil cepat! Padahal, mengutip PJ, kecepatan adalah salah satu kuncinya.
Sekali lagi, saya tak mengatakan bhw reshuffle tak bisa dilakukan PJ, tapi hanya mengatakan bahwa sampai saat ini masih belum perlu. Stabilitas dan soliditas masih sangat penting dalam kondisi seperti sekarang. Peringatan dan hardikan PJ memang perlu sesekali dilontarkan agar mereka-2, yang menganggap menjadi Menteri adalah "business as usual" karena merasa punya backing dan tak perlu repot, segera sadar dan kerja keras seperti diamanatkan oleh PJ.
Tapi pada analisa terakhir tentu semuanya terpulang kepada sang pemilik prerogatif, yaitu Presiden. Beliau lebih tahu apa yang mesti dilakukan untuk membawa keluar dari kerumitan yg dihadapi bangsa & negeri ini. Sejarah pula yg akan mencatat apa yang nanti akan menjadi pilihan beliau.
MONGGO, SILAKAN PAK...!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment