Jangan mengira kalau mereka yg punya pikiran dan laku rasis dan fasis tak ada dalam partai politik di AS, atau tak bisa jadi penguasa di negeri yang dikenal di dunia sebagai salah satu rujukan utama sistem demokrasi modern itu.
Sejarah politik AS pernah mengalami masa-masa ketika rezim penguasanya memraktikkan kebijakan politik yang rasis: penindasan warga kulit hitam, warga pribumi (the native Americans), warga keturunan Jepang, warga Muslim, dan warga LGBTQ. Bukan hanya di masa lampau, tetapi juga kekinian.
Presiden AS ke 45, Donald J. Trump, misalnya, dikritik lawan2 politiknya dan banyak warganegara AS, antara lain karena kecenderungan2 kebijakan politik yang dituding berwarna atau bernuansa rasis, diskriminatif, mysoginis, anti Muslim, dan anti migran.
Tetapi apakah Trump yg notabene diusung Partai Republik merupakan petunjuk bahwa hanya partai yang berorientasi pada nilai2 konservatif itu saja yg punya pendukung rasis dan gagasan fasis?
Jelas tidak. Partai Demokrat pun tak imun dari virus jahat rasisme dan fasisme. Lihat saja salah satu kandidat capres yg sedang berlomba memenangi tiket capres partai tsb pada 2020 ini. Namanya Michael Bloomberg (MB), konglomerat dan mantan Walikota New York selama 3 periode itu. Latarbelakang MB yang Yahudi, salah satu bangsa yg pernah menjadi korban fasisme dan rasisme, tak membuatnya imun dari virus rasisme dan kecenderungan fasis.
Dialah yg ketika menjadi Walikota NY membuat kebijakan rasis, penghentian dan penggeledahan langsung (stopped and frisked) orang-orang yg dicurigai akan mengancam ketertiban umum, melakukan aksi teror, dll. Kebijakan yg dikecam publik dan lalu harus dihentikan karena diprotes masyarakat sipil tsb, cenderung menarget warga Amerika berkulit hitam dan warga Muslim.
Memang MB menyatakan penyesalannya dan meminta maaf atas kebijakan publik tsb, tetapi ternyata kebijakan yg sudah dihapus tsb tetap menghantui kampanye kandidat capresnya. MB telah mengeluarkan ratusan juta dolar utk kampanye di seluruh AS dalam rangka memobilisasi dukungan terhadapnya!
Rekam jejak MB yang kelam tsb menjadikan dirinya bulan-2an menghadapi lawan kandidat capres Demokrat lainnya, terutama dari Bernie Sanders (BS), Elizabeth Warren (EW), dan Joe Biden (JB). Ketiganya menggunakan senjata isu rekam jejak kelam tsb dan fakta bahwa MB mewakili kelompok oligarki, yg tidak populer di kalangan akar rumput, khususnya para pekerja dan warga kulit hitam.
Dalam debat kandidat capres di negara bagian South Carolina, yg mayoritas pemilih Demokrat adalah kulit hitam (67%), MB "dikuliti" oleh EW dan BS ( yang notabene juga keturunan Yahudi itu). Kendati sang konglomerat termasuk yang diharapkan oleh sebagian elit Demokrat utk bisa bersaing dengan Trump, tetapi agaknya akan sulit berhasil jika tak ada cara2 manipulatif oleh Komite Nasional Partai Demokrat (DNC) di dalam proses pemilihan awal (primaries) dan dalam konvensi partai bulan Juli.
Walhasil, pelajaran dari politik AS buat kita di Indonesia antara lain adalah ini: Bahwa dalam sebuah sistem demokrasi tidak ada jaminan bhw virus gagasan dan praksis rasis dan fasis tak bisa bertumbuh dan bahkan menjadi penentu kuasa, manakala warganegara dan penyelenggara tidak konsisten awas, siap, dan cerdas serta peduli thd tegaknya nilai, prinsip, dan kelangsungan proses demokrasi.
Salah seorang pendiri bangsa AS, Thomas Jefferson, mengatakan bahwa AS akan tetap menjadi Republik, jika pemimpin dan warganegaranya "tetap mau dan mampu memeliharanya." Saya kira statemen beliau juga berlaku untuk konteks membela demokrasi di Indonesia.
Kita tak boleh terpana pada nama atau klaim saja. Parpol bisa bernama republik, liberal, demokrasi, kerakyatan, keadilan, dsb. Tetapi tanpa kepedulian dan kewaspadaan memelihara dan memupuk serta mempertahan nilai2 dan praksis berdemokrasi sebagaimana termaktub dalam Konstitusi, ancaman dan bahaya dari virus fasisme dan rasisme akan bisa merasuk dan merusak sistem dan, pada gilirannya, tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment