Saya setuju bahwa Indonesia tak boleh campuri urusan dalam negeri (dagri) RRC dalam mengelola wilayah UIGHUR. Tetapi RI tak boleh diam apabila benar bahwa di wilayah tsb terjadi pelanggaran HAM, sebagaimana dilaporkan berbagai pihak baik nasional maupun inteenasional. Mempedulikan dan mendukung perlindungan HAM di seluruh dunia, termasuk di RRC, adalah termasuk kewajiban konstitusional.
Konstitusi RI mengamanatkan agar Pemerintah Indonesia "... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..." Kalimat ini bisa ditafsirkan bhw kepedulian thd perdamaian dunia merupakan salah satu keharusan.
Masalah Uighur di RRC harus dipandang bukan hanya dari perspektif solidaritas "Islamiyah" saja, tetapi juga solidaritas "Basyariyah" alias kemanusiaan. Ketidakpedulian thd adanya problem HAM di negara tirai bambu tsb, dengan dalih tak boleh mencampuri urusan dagri, menurut hemat saya sangat problematik. Dalih tsb beresiko mencampuradukkan antara norma prinsipil konstitusional dengan pragmatisme politik.
Jujur saja, bukankah RI sangat peduli dg masalah Palestina, Serbia, Rohingya, dll tempat/ negara-2 yang pernah dan masih punya masalah pelanggaran HAM?. Jika begitu RI juga perlu mempedulikan masalah HAM di Uighur dan jika mungkin ikut membantu mencari solusi yang bermartabat dan menghormati kedaulatan negara yang bersangkutan.
Yang harus diupayakan adalah strategi yang efektif dalam keterlibatan RI mendukung perlindungan HAM di Uighur, agar tidak menimbulkan kegaduhan di dalam negeri Indonesia dan hubungan antar-bangsa, khususnya dengan RRT. Saya yakin hal itu bisa dilakukan oleh Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat sipil. Sikap hanya berdalih, agar tak perlu susah, mesti ditolak! IMHO
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment