Sinyalemen yang bernada gugatan dari anggota DPR RI di komisi III, I Wayan Sudirta (IWS), sangat penting dicermati oleh KPK, DPR RI, kita rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya yang masih punya komitmen untuk mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini. Kendati konteks politik sinyalemen IWS adalah dalam rangka membela partainya (PDIP), tetapi saya menafsirkannya dari sisi yang lain.
IWS, pada intinya, menyatakan bahwa KPK masih belum menuntaskan kasus tipikor e-KTP yang ditengarai melibatkan para petinggi parpol dan politisi yg menduduki posisi kunci di Parlemen. Ketidak tuntasan ini berujung kepada munculnya kesan pilih-pilih tebu dari KPK. Argumen IWS berdasarkan pengakuan Setya Novanto (Setnov), mantan Ketua DPR RI dan sekaligus mantan Ketum DPP Golkar, yang kini meringkuk di dalam penjara sebagai ganjaran keterlibatannya dalam kasus tipikor kakap tsb.
Menurut IWS, masih ada beberapa nama yang juga disebut Setnov kecipratan uang rasuah e-KTP, yang sampai saat ini belum ditelisik oleh KPK. Ihwal inilah yang dipertanyakan IWS dan saya kira juga oleh publik Indonesia. KPK jelas "berhutang" jawaban kepada rakyat dan bangsa Indonesia dan jangan sampai dituding bersengaja menunda atau bahkan pilih-pilih tebu. Lembaga antirasuah, yang kini juga sedang mendapat musibah berupa upaya pelemahan atasnya itu, bagaimanapun juga masih punya tugas penuntasan skandal e-KTP. Setidaknya KPK harus membuat terang kapan pemeriksaan terhadap nama-nama yang disebut Setnov dan IWS itu dilakukan.
Sinyalemen IWS bisa kita tafsirkan secara umum: Mengingatkan KPK dan, pada saat yang sama, kepada publik, agar mereka tidak pernah lupa betapa besar dan berlapisnya kasus rasuah yg melibatkan para elit politik di negeri ini. Bahkan bukan suatu 'hil yg mustahal' jika dikatakan bahwa seluruh upaya pelemahan dan penghancuran terhadap KPK, yang tampaknya makin berhasil itu, adalah dalam rangka 'cover up' alias penyembunyian ulah busuk para elit politik dan parpol itu. IMHO.
0 comments:
Post a Comment