"Men make their own history, but they do not make it as they please; they do not make it under self-selected circumstances, but under circumstances existing already ..." (Karl Marx, "The 18th Brumaire of Louis Bonaparte.")
Dikabarkan oleh media bahwa Fraksi PDIP di DPR RI resmi kompak menolak penerbitan Perpu KPK oleh Presiden Jokowi (PJ). Berita tsb sejatinya sama sekali tak mengejutkan, setidaknya untuk saya. Mengapa? Karena beberapa pentolan politisi partai belambang Banteng tsb telah menyatakan pandangan sama secara terpisah-pisah. Toh signifikansi politik penolakan resmi tsb perlu dicermati.
Kekompakan FPDIP tsb adalah salah satu gambaran tentang bagaimana "positioning" para elite PDIP, khususnya PJ, dalam konstelasi pemerintahan pasca Pilpres 2019. Fokus saya adalah dinamika pergulatan politik dalam isu penerbitan Perpu KPK yg sempat digagas oleh PJ pasca ketok palu DPR yg mengesahkan UU KPK baru hasil revisi UU lama.
Tesis utama saya adalah bahwa dalam periode ke dua pemerintahannya, kendati PJ menang telak sebagai RI-1, tetapi kekuasaan riil beliau tak berada di atas pimpinan partai terutama PDIP. Perolehan suara rakyat yg memilih beliau secara langsung dalam Pilpres 2019 adalah 55%, perolehan yg jelas mengatasi semua parpol termasuk PDIP. Dalam konstelasi politik riil, sayangnya, toh posisi petugas partai yg diberikan thd PJ bergeming dan semakin akan ditegaskan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Fakta "keras" politik ini merupakan hasil dr hubungan dialektika antara struktur dan agensi yg dalam hal ini berupa relasi parpol dan Presiden. Selama nyaris 5 tahun terakhir ini pihak yg disebut pertama berhasil tampil lebih dominan ketimbang yg disebut terakhir. Gampangannya, PJ memang Presiden, yg menurut Konstitusi adalah orang PERTAMA dalam Pemerintahan, tetapi karena partai berhasil memosisikan beliau sebagai petugas partai, maka secara riil politik PJ mesti tunduk kepada, dan berada di bawah kontrol sepenuhnya dari, partai yg dalam hal ini diwakili oleh sang Ketum DPP.
Secara pribadi sebagai tokoh dan pemimpin, PJ bukanlah seorang alm GD, atau Mega, atau SBY, apalagi Suharto yang semuanya adalah pemimpin parpol saat menjadi Presiden. GD kendatipun memimpin parpol yg tak besar, PKB, tetapi memiliki basis massa riil yg sangat besar yakni kaum nahdliyyin dan non nahdliyyin yg mendukungnya. PJ tidak memiliki keduanya. Suara pemilih, yg secara legal konstitusional sangat kuat, tak bisa serta dikonversi menjadi kekuatan politik riil sebagaimana kader parpol atau massa.
Dari dimensi kapasitas kharisma, komponen yg masih sangat penting dalam kepemimpinan di Indonesia, PJ jelas memilikinya. Tetapi jika dibandingkan dengan para mantan Presiden diatas, rasanya juga belum setara kendati kemungkinan menuju ke sana bukannya tertutup.
Konsekuensi dr dialektika egensi dan struktur tsb adalah bahwa kemauan dan upaya PJ utk melangkah "melampaui" kehendak partainya akan memunculkan dilemma bagi beliau: Akankah resikonya bisa dihadapi PJ sendirian, atau justru sebaliknya yakni keterasingan dari parpol pendukung dan elit politik lain?
Fakta yang nyata lainnya adalah bahwa PJ bukan seorang politisi yang punya jam terbang yg tinggi di kancah nasional dalam lingkaran elit politik saat ini. Beliau bisa muncul dan besar dengan mengandalkan pada popularitasnya sebagai sosok pemimpin yg bersih, merakyat, sederhana, dan kerja keras. Namun politik tetap saja merupakan dunia yang masih "asing" dan mungkin juga memusingkan beliau. Ironisnya, dan beda dengan para pemimpin sebelumnya, nyaris tak ada tim khusus yg beliau bentuk utk membantu membangun kekuatan mandiri vis-a-vis parpol dan kelompok oligarki yg sangat berpengaruh.
Pilihan PJ dalam dinamika relasi politik elite jadinya tak terlalu banyak. Kalau beliau nekad melawan parpol dan oligarki, hasilnya adalah ketidaksinkronan dan disharmoni dalam Pemerintahan. Kalau menerima dan tunduk kepada keduanya maka keberlangsungan presidensinya akan terjamin. Namun hal tsb mungkin harus ditebus dengan tergerusnya populartias sebagai pemimpin yang mandiri di mata sebagian rakyat, yang bisa jadi berpotensi membesar seiring dengan waktu dan dinamika politik yang ada!.
Dengan adanya dilemma tsb, menghadapi kontroversi terkait penerbitan Perpu KPK ini saya makin cenderung memperkirakan bahwa PJ akan memilih jalan pragmatis dengan mengikuti kemauan parpol dan oligarki. Adlh sebuah KEAJAIBAN politik jika PJ memilih mengabaikan partainya & tetap menerbitkan Perpu KPK tsb.
Barangkali lamanya PJ mengumumkan keputusannya, bukan karena beliau masih harus bernegosiasi atau meyakinkan pihak parpol, tetapi lebih karena beliau mencari cara terbaik agar tak mengecewakan kalangan masy sipil yang mendukung beliau. Khususnya mereka yg masih berharap dan percaya kepada komitmen beliau thd penguatan demokrasi dan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Akankah beliau berhasil dalam upaya meyakinkan masyarakt sipil dan kelompok pro demokrasi? Kita lihat saja nanti. Yg jelas, pilihan harus ditetapkan PJ dg segala resikonya. Dan kekompakan FPDIP adalah pertanda yg kuat bahwa struktur, bukan agensi, yang unggul (prevailed) saat ini. Wallahu a'lam.
Bravo Pak Jokowi!!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment