Dalam cerita-cerita fiksi ilmiah (Sci Fi) dikenal istilah "parallel universe", "alternate universe", "parallel reality", atau "alternate reality." Definisi umumnya kira-kira begini: Sebuah dunia yang sama atau nyaris sama dengan dunia nyata yang, secara hipotetis, dianggap ada atau eksis. Dalam cerita Sci Fi seperti Narnia, misalnya, dunia paralel itu sejajar dengan dunia nyata kita dan kadang tersambung kadang tidak.
Nah, dunia paralel ini hemat saya bisa kita gunakan sebagai metafora untuk perpolitikan Indonesia pasca-Pemilu 2019. Sebab sekarang ini ada fenomen "kenyataan dunia politik paralel" (a parallel political reality) yang diyakini adanya oleh pendukung salah satu kubu Capres, yaitu kubu 02. Sayangnya antara kenyataan politik paralel (KPP) dengan kenyataan politik biasa (KPB) yang kita lihat dan alami, sama sekali tak nyambung. Dengan demikian, berbeda dengan cerita Sci Fi Narnia, tidak dimungkinkan bagi kita untuk bergantian atau menggabungkan antara satu dengan lainnya.
Sebagian elit dan para pendukung kubu 02 saat ini sepertinya sedang hidup dalam KPP itu. Mereka merasa telah menang Pilpres dan Pileg 2019, melakukan deklarasi 4 kali, syukuran entah berapa kali, menyatakan hasil hitungan mereka valid dan tak perlu diuji sahih oleh publik atau lembaga seperti KPU dan Bawaslu. Karenanya mereka menolak apa yang ada dalam KPB dengan berbagai dalih: Kecurangan TSM plus Brutal, menolak hasil QC, menolak hasil hitungan KPU, menolak adu data, dan, tak tanggung-tanggung, minta agar paslon capres kubu 01 didiskualifikasi.
KPP ini benar-benar oleh pendukungnya dianggap sebagai kebenaran, bukan fiksi, apalagi halusinasi dan/ atau efek dari sebuah delusi. Para pendukung KPP sudah sesumbar mau bikin 'people's power', gerakan kedaulatan rakyat, menolak bayar pajak, dan terakhir bahkan menolak masuk Parlemen yang ada dalam KPB.
Namun karena KPP ini tidak nyambung dengan KPB maka upaya pendukung pihak yg pertama utk merubah yang kedua tak akan berhasil. Sebab kalaupun mereka menggunakan people's power, misalnya, yang terjadi hanyalah people's power fiksi. Penolakan terhadap kemenangan kubu 01, juga hanya akan 'mbulet' di lingkaran KPP yg mereka buat. Tak ada mesin teleporter atau mesin waktu (time machine) yang bisa mereka pakai untuk memasuki KPB, apalagi melakukan infiltrasi.
Karena itu, saya kira, hingar bingar para pendukung KPP itu tak perlu terlalu di acuhkan, apalagi dikhawatirkan, karena mereka hanya ada dalam fatamorgana buatan mereka sendiri. Fokus kita sebagai warganegara harus tetap pada KPB, karena pekerjaan rumah saat ini dan ke depan masih banyak. Indonesia pasca Pemilu'19 jelas masih memiliki garapan-garaoan besar yang lebih penting ketimbang mengurus KPP.
Sesekali memang menarik juga mengikuti wacana dan kiprah KPP. Selain sebagai kaca bemggala, ia bisa mengundang tawa dan canda. Apalagi kalau kita lihat bhw para promotor, sponsor, dan aktor intelektualnya adalah para tokoh yang juga punya nama besar, spt mantan Jenderal, Profesor, agamawan, budayawan, cendekiawan, aktivis, pegiat LSM. Pokoknya, lengkap nyaris seperti dunia nyata. Lucunya mereka dengan gagah dan tanpa merasa risih atau apalagi malu memamerkan delusi dan kekonyolan di dunia paralel yang dibuat, dikembangkan, diyakini, dan dikagumi sendiri!
Lalu sampai kapankah fenomen KKP akan berlangsung? Sulit diprediksi. Sebab dunia paralel memiliki logika dan caranya sendiri utk bertahan dan merekrut pendukungnya. Bisa jadi gugur satu tumbuh seribu pendukung fenomen KKP itu. IMHO
0 comments:
Post a Comment