Saya ditemani oleh Dr. Faried Saenong, dosen matkul studi Indonesia yang juga Ketua PCI (Pengurus Cabang Istimewa) NU Selandia Baru. Selain beliau, juga ada sekitar 12 an mhs Indonesia dr berbagai program studi di UVW dan/atau warga Indonesia yg mukim di negara Kiwi itu.
Saya mendapat berbagai informasi terkait respon mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang cukup berbagai. Dari saya, yang menjadi fokus adalah bagaimana Pemilu & Pilpres 2019 ini akan berpengaruh thd kehidupan demokrasi. Saya mengemukakan bhw karena kita baru sekali ini melakukan Pemilu serentak maka tentu akan ada hal2 baru yang tidak kita alami sebelumnya, terutama dlm hal2 teknis penyelenggaraan yh bisa berdampak thd kualitas Pemilu serta demokrasi.
Namun selain mslh teknis, ada juga persoalan yang lebih substantif yang harus dipahami dalam perpolitikan nasional saat ini dan kedepan. Yaitu fakta bhw konsolidasi denokrasi kita selama 20 tahun lebih stlh reformasi, masih belum kokoh dan cenderung "muddling thru" alias kagok dan gagap.
Salah satu inti masalahnya adalah belum kunjung terjadinya reformasi yang fundamental thd PARPOL kita, berbeda misalnya dg TNI, POLRI, birokrasi Penerintahan, dan lembagab Yudikatif. Implikasi yg paling serius dr kondisi stagnasi ini adalah makin buruknya kualitas parpol, politisi, dan wakil rakyat serta produk mereka.
Dari berbagai survei yang terakhir didapat laporan bahwa hanya 6 parpol yang punya kans kuat bisa masuk Senayan. Itu berarti kans utk munculnya partai baru yg lebih progressif dan bisa diajak oleh masyarakat sipil Indonesia (MSI) utk mempelopori reformasi parpol sangatlah kecil atu bahkan tidak ada. Konsekuensi logisnya adalah pengulangan 4 L (lu lagi lu lagi) di DPR dan terwujudnya "partokrasi" (particracy) dalam demokrasi kita sangat besar.
Seandainya parpol baru spt PSI berhasil lolos ke Senayan, setidaknya ia akan bisa menjadi aktor disruptif bg kemapanan dan, bisa jadi akan mentrigger upaya yg lebih serius menuju reformasi kepartaian yg akan lebih mampu menjadi alat pelaksana prinsip demokrasi: DARI, OLEH, & UNTUK rakyat.
Sementara itu dalam konteks Pilpres 2019, kompetisi yang alot tampaknya sedang terjadi sebagaimana terefleksi dalam berbagai hasil survei. Kendati demikian, menurut hemat saya, jika petahana yang unggul maka probabilitas melakukan pelanjutan konsolidasi demokrasi lebih besar. Itupun dengan syarat bhw PJ perlu makin memperhatikan persoalan strategis dalam bidang Gakkum, kehidupan kebangsaan, anti-korupsi, dan, yg paling mendesak, penanggulangan kemiskinan serta kesenjangan ekonomi di lapisan menengah ke bawah.
Hemat saya, kendati dlm bidang pembangunan infrastruktur dan ekonomi makro PJ mendapat pujian (dan beliau berhak menerimanya), namun dalam bidang Hukum dan pengentasa kemiskinan tampak masih harus kerja ekstra keras. Ini belum lagi ditambah dg soal kualitas SDM yg memang masih cukup memprihatinkan utk menopak akselerasi pemajuan bangsa.
Saya juga menyoroti secara singkat kepriharinan saya terhadap perkembangan MSI yg justru menunjukkan kecenderungan membuka kepada makin maraknya pengaruh pokitiknidentitas dan sektarianisme serta radikalisme. Karenanya gerakan nasional deradikalisasi (GND) perlu diperkuat dan diperluas khususnya ditujukan kepada upaya pencegahan dini terhadap intoleransi dan radikalisasi melalui pendidikan kebangsaan dan kewarganegaraan.
Alhamdulillah obrolan yang berlangsung dua jam lebih sedikit itu gayeng dan mendapat respon yaang baik berupa interaksi pertukaran pikiran dengan audiens. Saya sangat bangga dengan para mahasiswa kita yang tampak sangat peduli dengan kehidupan demokrasi di tanah air dan aktif mencarikan jawaban2 yang bisa diperoleh dari studi maupun interaksi dengan bangsa2 lain di Selandia Baru ini.
Bravo Mahasiswa & Warga Indonesia di Wellington!!
Kia Ora Tatou! (Terimakasih).
0 comments:
Post a Comment