“Quick count selama ini banyak menimbulkan kemudaratan, kemafsadatan. (Karena) setelah tahu quick count, rakyat beruforia merayakan kemenangan.”
Oleh sebab itu pihaknya mengusulkan agar QC DITIADAKAN.
Oleh sebab itu pihaknya mengusulkan agar QC DITIADAKAN.
Menyampaikan usul adalah hak MUI dan Din Syansuddin (DS) sebagai bagian dr kelompok masyarakat dan warganegara RI. Demikian pula jika ada yang MENOLAK usul tsb, sejauh memang ada alasanbyg nalar dan pembuktian yg bisa dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan, etika, politik, sosial, budaya.
Alasan DS dan MUI utk meniadakan QC tak cukup solid dalam pandangan saya sebagai pengamat politik maupun warganegara RI. Belum ada suatu kajian komprehensif ttg dampak negatif QC terhadap stabilitas kamnas dan politik nasional semenjak metode tsb diterapkan dlm Pemilu di RI. Juga DS mengabaikan dampak positif dr QC bagi proses penghitungan hasil Pemilu apabila ia dilakukan secara ketat mengikuti kaidah keilmuan.
Hal sama juga terjadi dengan hasil survei yang selain bisa berdampak positif juga bisa negatif, terutama jika ia disalahgunakan dengan mengabaikan kaidah dan prosesur keilmuan yg sudah disepakati. Jadi akar masalahnya bukanlah pada QC atau survei sebagai salah satu upaya manusia modern dalam memecahkan masalahnya, tetapi pada bagaimana mereka diterapkan: apakah sesuai atau tidak dg aturan keilmuan yg berlaku.
Terkait dg reaksi masyarakat terhadap hasil QC, yang harus diperhatikan justru adalah bgmn manipulasi thd hasil QC sehingga mengakibatkan eforia tsb. Jika masyarakat diajari secara rasional utk memahami apa dan bagaimana serta utk keperluan apa QC itu, saya rasa manipulasi hasil akan bisa dikurangi. Ini sangat berhubungan dg dinamika masyarakat dan kedewasaan masyarakat dalam menghadapi modernitas dan modernisasi.
Fakta selama beberapa dasawarsa di negeri kita menunjukkan bahwa manipulasi QC dimotivasi oleh kepentingan individu dan kelompok kepentingan khusunya elit politik. Masyarakat sejatinya sudah siap dan terbiasa dengan survei2 dan juga QC, karena mereka juga bagian integral dari masyarakat modern yang tersosialisasi oleh praksis masyarakat modern di belahan dunia lain.
Menurut saya, usul DS dan MUI utk meniadakan QC selain melawan dinamika masyarakat, juga tidak bijak. Ini mirip dg upaya melarang menggunakan teknologi canggih dlm rangka mengamati HILAL utk awal Ramadhan dan Syawal, dengan alasan yg sama: menciptakan keributan dalam masyarakat.
Manusia modern akan selalu berkembang, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi yg dipakainya. Pembatasan bisa saja dilakukan sejauh memang demi kemaslahatan manusia sendiri dengan didasari oleh pertimbangan-2 matang. Bukan karena sentimen dan kepentingan. Survei dan QC merupakan salah satu kebutuhan dalam masyarakat modern yg bergerak dengan dinamika yg cepat.
Sejauh yang saya lihat, baik survei dan QC membawa manfaat yang lebih banyak ketimbang madharatnya. Soal ada pihak yang nelakukan manipulasi dan bereaksi berlebihan, hal itu bukan karena dampak mereka, tetapi karena sikap manipulatif yang ada diantara individu dan kelompok kepentingan.
Akhirnya, marilah berpolitik dengan nalar dan nurani, bukan kemarahan dan benci. Demokrasi di Indonesia harus semakin terkonsolidasi, bukan mengalami kemunduran akibat manipulasi. Wallahua'lam.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment