Membangun demokrasi perlu landasan yang kokoh, bukan hanya dalam bentuk landasan kelembagaan (democratic institutions) saja tetapi juga landasan budaya (democratic culture). Jika di negara demokratis seperti AS saja masih memerlukan perubahan dan pembangunan budaya politik yang lebih kompatibel bagi keberlanjutan sistem demokrasinya, apalagi kita bangsa dan negara Indonesia, yang bisa dikatakan masih sedang dalam tahapan awal dalam membangun demokrasi konstitusional (constitutional democracy).
Perkembangan perpolitikan Indonesia pasca-reformasi menunjukkan dinamika yang ditengarai kian mengarah kepada pemerosotan wacana dan praksis demokrasi. Memang benar bahwa jika dilihat secara formal, maka praktik demokrasi kita cukup menggembirakan dan, sampai tingkat tertentu, membanggakan. Namun jika kita mau melihat dan mencermati secara mendalam, maka investasi untuk memperkuat demokrasi cenderung mengkhawatirkan. Formalisme yang ada mengakibatkan sebuah praktik demokrasi yang sarat dengan transaksionalisme, praktik korupsi di kalangan politisi, penurunan kualitas SDM politisi baik di parlemen maupun di parpol, dan kian berkuasanya para oligarch.
Pada tataran non-elektoral, pentas politik selama beberapa tahun ini dijangkiti oleh virus berbahaya seperti politik identitas dengan maraknya penggunaan SARA dalam wacana dan praksis; maraknya penyebaran hoaz dalam komunikasi politik, dan kian menipisnya kesantuan publik di dalam wacana dan praksi politik. Menguatnya mobilisasi massa untuk menjustifikasi kuatnya dukungan politik, melahirkan kekhawatiran tentang bahaya mobokrasi sebagai bentuk manipulatif dari demokrasi. Fakta-fakta terkait dengan dinamika yang menghasilkan pemunduran demokrasi sangat berlimpah khususnya saat kita sedang menggelar "pesta demokrasi". Pilkada, Pileg, dan Pilpres pada dua tahun terakhir!
Di negeri kita saat ini tampak jelas bahwa terjadi pemerosotan dalam landasan budaya bagi pengembangan demorasi konstitusional. Budaya menindas (eg dalam relasi mayoritas-minoritas), tebang pilih (e.g dalam gakkum), feodalisme (e.g parpol, birokrasi pemerintahan),
pesimisme dan sinisisme (e.g dalam persepsi terhadap demokrasi), hoax (dalam komunikasi publik, media, medsos), dan ketakutan (e.g dalam propaganda ideologi anti Pancasila) mesti diubah total. Jika
tidak, maka fondasi demokrasi kita akan dilemahkan dan rentan terhadap
intrusi dan ancaman baik yang bersumber dari dalam batang tubuh bangsa maupun dari luar.
Budaya-budaya korosif diatas memungkinan kembalinya paham otoriterisme dan kekuasaan yang dibangun di atasnya. Kendati otoriterisme sudah kita tumbangkan lebih dari dua dasawarsa lalu, bukan hal yang mustahil untuk berusaha kembali lagi, seperti yang kita saksikan di negara-negara Amerika Latin (Brazil, dan Venezuela), Asia (Thailand dan Filipina), Afrika (Mesir, Sudan), dsb. Kegagalan mereka dalam memertahankan dan melanjutkan perjuangan, menghasil sebuah fenomena "dedemocratization" baik secara gradual maupun cepat.
Budaya-budaya korosif diatas memungkinan kembalinya paham otoriterisme dan kekuasaan yang dibangun di atasnya. Kendati otoriterisme sudah kita tumbangkan lebih dari dua dasawarsa lalu, bukan hal yang mustahil untuk berusaha kembali lagi, seperti yang kita saksikan di negara-negara Amerika Latin (Brazil, dan Venezuela), Asia (Thailand dan Filipina), Afrika (Mesir, Sudan), dsb. Kegagalan mereka dalam memertahankan dan melanjutkan perjuangan, menghasil sebuah fenomena "dedemocratization" baik secara gradual maupun cepat.
0 comments:
Post a Comment