Cekaknya kocek paslon no 02, PS-SU, utk menghadapi laga Pilpres 2019 melawan paslon petahana 01, PJ-MA, meniscayakan strategi akternatif yang bisa menambal kelemahan tsb. Selain mencoba menarik sumbangan dari publik, paslon ini juga (dan makin banyak) menggeber strategi retorika politik.
Dengan memanfaatkan rentannya publik terhadap isu2 ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, dan hutang yang membubung tinggi, ditambah suntikan psikologis dari sentimen identitas dan maraknya tren populisme serta anti-asing, paslon 02 cukup sukses dalam strategi menggeber retorik ini. Bukan tak berarti paslon 01 tak memanfaatkan strategi retorik yg sama, namun volume dan frekuensinya jelas kalah jauh.
Pertanyaannya, apakah strategi retorik yg cenderung membawa dampak negatif, berupa kegaduhan dan terganggunya kohesivitas sosial serta instabilitas politik, akan mampu mengantar paslon 02 menjadi penghuni Istana pada 2019 nanti? Mengaca pada berbagai kisah sukses di AS dan Brazilia, para pendukung strategi ini akan mengiyakan.
Namun harap diingat dan dipikirkan, Indonesia bukan AS ataupun Brazilia. Di negara yg disebut pertama itu, selain demokrasinya telah berusia panjang (lbh dr 2 abad), juga memiliki masyarakat sipil yang mampu mengontrol secara efektif penguasanya. Kegaduhan yg terjadi pada elit, bahkan yg beresiko mengancam stabilitas ekonomi dan politik (spt yg diakibatkan oleh Pemerintahan Trump saat ini), cenderung bs dikendalikan dan diseimbangkan melalui sistem dan aktivisme warganegara.
Akan halnya Brazilia, negara terbesar di Amerika Latin tsb terus menerus akan terombang ambing dalam pergelutan rezim otoriter dan upaya menwgakkan demokrasi. Brazil kendati punya sejarah panjang sebagai negara merdeka, tetapi juga punya sejarah tragis dalam soal rezim militer yang menindas.
Strategi pemenangan kontestasi Pilpres yang langka dengan platform politik tetapi sarat dengan retorik memang akan hingar bingar. Publik akan mudah terpesona akan janji2 dan bersemangat mencerca berbagai kelemahan dan kekurangan rezim yg sedang berkuasa. Tetapi setelah pesta demokrasi selesai, apakah ada jaminan bahwa semua bengkalai akan bisa dirapikan dengan retorika?
Saya kira paslon 02 belum terlambat utk mulai bicara tentang platform politiknya utk bs dibanding dengan milik lawannya. Dan paslon 01 juga tak perlu mengimbangi retorika dengan retorika berbusa-busa.
0 comments:
Post a Comment