Sebagaimana dlm kasus AHOK pada 2016, respon PP Muhammadiyah terhadap aksi massa terkait insiden pembakaran bendera HTI terkesan AMBIGU. Dalam kaitan ini, antara himbauan kepada warganya agar tidak ikut demo protes di satu pihak dengan surat pernyataan yang dikeluarkannya di pihak lain, keduanya tak koheren dan tak konsisten.
Dalam surat pernyataan PP Muhammadiyah terkait insiden pembakaran bendera HTI di Garut tsb., PP Muhammadiyah menganggap Banser telah melakukan tindakan kebablasan, karena yang dibakar adalah kalimat tauhid. Tudingan tsb jelas berlawanan dengan temuan Polisi yang menyatakan bahwa bendera tsb adalah bendera ormas terlarang HTI.
Kini PP Muhammadiyah menghimbau agar warganya tidak ikut demo yang memprotes Banser pada 26 Oktober 2018. Alasannya agar proses hukum berjalan. Namun, seperti kasus demo berjilid-jilid anti Ahok, PP Muhammadiyah juga tak melqrang jika ada warganya ikut asal tidak membawa atribut organisasi.
Sekilas tampak bahwa ormas ini ingin tampil netral dan hanya mengritik pembakaran kalimat tauhid dan menjunjung prinsip bahwa proses hukum berjalan. Namun sikap tsb juga bisa dibaca sebagai ketidakjelasan dalam menyikapi masalah strategis yang terkait dengan ancaman eksistensial NKRI yakni provokasi ormas terlarang HTI melalui pengibaran bendera.
Posisi ambigu seperti ini memang "menguntungkan" Muhammadiyah, dan ini mengingatkan kita ketika kasus Ahok terjadi demo berjilid-jilid itu. Sikap PP Muhammadiyah juga tidak mendukung demo tetapi tidak melarang warganya jika ada yang ikut dalam demo 212 dan seterusnya, asal tidak membawa atribut ormas tsb. Secara politis, sikap pragmatis demikian memang menjadi salah satu pilihan agar tetap bisa dianggap sebagai pihak yang "netral". Namun jika persoalannya suda menyentuh kepada eksistensi negara dan ancaman terhadap keamanan nasional, saya kira sikap seperti itu perlu dipertanyakan.
Mengapa Muhammadiyah seakan-akan berbeda jalan dg NU dalam merespon masalah strategis yang berkaitan dengan ancaman terhadap integritas dari kelompok radikal seperti HTI? Semua orang Indonesia tahu bagaimana sikap NU dan onderbouwnya dalam menyikapi provokasi HTI. Ini berbeda dg Muhammadiyah. Saya amati, tokoh besar seperti Buya Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, memang sangat tegas merespon manuver2 HTI. Tetapi Muhammadiyah di bawah pimpinan M. Haedar saat ini terasa berbeda. Bahkan mantan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais, cenderung akrab dg kelompok seperti GNPF, FPI, dan FUI.
Pertanyaan diatas seharusnya menjadi bahan perenungan bagi warganegara RI dan dijawab dengan terus terang dan terbuka oleh Muhammadiyah. Karena eksistensi NKRI ke depan sangat ditentukan oleh sikap yang tegas dan tidak ambigu dari ormas2 Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah.
Eksistensi dan keberlangsungan NKRI sangat dipengaruhi oleh ornas2 tsb. Jika tidak seiring dan sejalan, maka akan mudah utk dipecah belah oleh kepentingan anti NKRI.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment