Dialog CNN-TV pada Kamis, 23/08/2018, membahas kontroversi terkait ajakan KH. Ma'ruf Amin (KHMA), Rais Aam PBNU dan kandidat cawapres Presiden Jokowi (PJ), agar warga nahdliyyin kembali (ruju') mendukung PKB. Statemen KHMA tsb disampaikan beberapa waktu setelah pengumuman beliau sebagai kandidat cawapres PJ pada sebuah acara di PKB. Statemen itulah yang dikeluhkan oleh, Dr. Efendi Choirie (EC), yang juga Ketua Bapilu Partai Nasdem. EC sendiri dikenal sebagai tokoh senior NU yang dekat dengan almaghfurlah GD, dan menjadi politisi di PKB sebelu bergabung dengan partai besutan Surya Paloh (SP) itu.
Menurut EC, statemen KHMA adalah semacam "keberisikan" yang sejatinya tak boleh terjadi karena akan kontra-produktif. Statemen tsb bernuansa politik praktis dan pemihakan terhadap salah satu parpol. Sebab KHMA bukan saja menduduki pucuk pimpinan NU, yang seharusnya tidak boleh berpolitik praktis, tetapi juga kandidat cawapres yang didukung parpol-parpol pendukkung PJ, bukan hanya PKB atau PPP. Pemihakan KHMA, menurut EC, membuat KHMA tidak bersikap selayaknya seorang agamawan yang juga negarawan, tetapi cenderung seperti seorang politisi. Padahal beliau paham bahwa kaum nahdliyyin bebas memilih parpol yang akan diikuti dan faktanya mereka ada di semua parpol.
Bagi wakil PBNU, Robikin Emhas (RE), bisa jadi apa yang diucapkan KHMA adalh semacam "slip of tounge" atau bisa juga upaya beliau untuk mencairkan kebekuan diantara parpol-parpol yang memiliki warga nahdliyyin sebagai pendukungnya, selain PKB dan PPP, seperti Nasdem. Karenanya, masih menurut RE, masalah ini tak perlu diperdebatkan tetapi dicarikan solusinya sesuai dengan tradisi NU.
Saya sependapat bahwa kontroversi ini perlu dicarikan solusi dan kalau bisa secara tradisi NU. Namun, pada saat yang sama, saya juga melihat, dalam kontroversi ini, masih kuatnya anggapan dari pihak "struktural" NU, khususnya PBNU. yang terkesan "taken it for granted". Yakni anggapan bahwa warga nahdliyyin pada umumnya sudah paham, dan tidak mempersoalkan apa yang terjadi di elit NU. Hemat saya, cara pandang semacam ini tidak senstif terhadap dinamika yang terjadi di kalangan NU kultural, khususnya generasi muda (milenial) yang memiliki pandangan dan perilaku politik dan sosial yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Implikasi politik dari kesenjangan tersebut bisa dilihat dalam kasus seperti Pilkada Jatim yang dikemukakan oleh EC. Dalam Pilkada 2018 Jatim, dua paslon yang bertanding adalah sesama nahdliyyin. Paslon yang secara total didukung struktural NU dan para Ulama terkemuka di Jatim (Ipul-Puti), ternyata dikalahkan oleh kandidat yang didukung NU kultural (Khofifah-Emil). Bagi saya, jika cara pandang normatif dan "top down", serta menyiratkan pengabaian terhadap dinamika NU kultural itu tak diubah secara fundamental, maka akan semakin tajam gap antara kedua pihak. Dan jika dikaitkan dengan dukungan politik terhadap pasangan PJ-KHMA pada Pilpres 2019 nanti, juga bisa berdampak negatif.
Silakan menyimak rekaman video YouTube di bawah ini dan mengomentarinya. Trims (MASH)
https://www.youtube.com/watch?v=up55oNVkBwU&feature=youtu.be
0 comments:
Post a Comment