Acara dialog di CNN TV tadi malam (10/5/18) membicarakan situasi pasca-insiden terorisme di Mako Brimob yang menewaskan 5 orang petugas dan 1 teroris dikaitkan dengan kemungkinan ancaman aksi terorisme di tahun politik. Saya dan Martin Hutabarat (MH), politisi Gerindra, menjadi nara sumber, dipandu oleh Reinhard Sirait (RS).
Aksi terorisme, khususnya yang menarget aparat penegak hukum (Polisi) telah beberapa kali dilakukan oleh kelompok maupun individu teroris di negeri ini. Namun insiden di Mako Brimob (8-9 Mei 2018) merupakan salah satu yang paling mengejutkan karena terjadi di tengah markas komando pasukan elit milik kepolisian, dengan jumlah korban dari aggota kepolisan yang besar. Insiden ini menjadi lebih spektakuler karena bisa disaksikan dan dicover oleh media nasional dan internasional secara real time dan life.
Insiden berakhir setelah pasukan anti teror gabungan Polsisi dan TNI berhasil melakukan serbuan dan para teroris menyerah tanpa perlawanan. Keberhasilan Polri menyelesaikan insiden ini mengundang apresiasi dan pujian dari banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Drama yang berlangsung sekitar 40 jam tsb sangat mencekam dan menjadi salah satu bukti bahwa terorisme di Indonesia tetap merupakan ancaman nyata dan hadir dan memiliki kemungkinan melakukan aksi kekerasan dalam berbagai modus, termasuk pemberontakan (mutiny) di penjara dan menyandera aparat kepolisian.
Fakta tsb mengundang pertanyaan apakah terorisme akan menjadi ancaman dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri ini pada 2018 dan 2019 mendatang. Saya berpandangan bahwa potensi itu ada, bukan saja karena penanganan terorisme di Indonesia, termasuk deradikalisasi, masih memerlukan perbaikan dan penguatan. Tetapi juga karena kemungkinan politisasi masalah radikalisme dan terorisme oleh kekuatan politik juga ada. Indikasinya, misalnya, ada beberapa politisi dan tokoh masyarakat yang mencoba membelokkan kasus insiden di Mako Brimob menjadi masalah politik terkait penahanan Ahok, dengan menuding adanya ketidak adilan di dalam rutan tsb.
Demikian pula politisasi tsb terjadi jika isu terorisme dan radikalisme digunakan utk delegitimasi terhadap Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) yang dituding, misalnya, dengan isu anti Islam. Karenanya, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil harus memiliki sikap yang tegas dan kebijakan anti-radikalisme dan terorisme yang efektif.
Penetrasi ideologi radikal seperti HTI, misalnya, sudah jauh merasuki wilayah-wilayah strategis seperti perguruan tinggi, kalangan profesional, ASN, dsb. Jka tidak ada upaya penanggulangan terhadap radikalisme yang sungguh-sungguh maka bisa saja akan menjadi salah satu wahana bagi delegitimasi tsb. Fakta bahwa beberapa parpol sudah menawarkan aliansi dg ex HTI dan mendukung upaya hukum pasca-penolakan PTUN terhadap gugatan ex-HTI, perlu diperhatikan dan diantisipasi dampak politiknya.
Silakan disimak dan dikomentari. Trims (MASH):
https://www.youtube.com/watch?v=nh1BPjzGN0I
0 comments:
Post a Comment