Baru saja diberitakan bahwa Pemerintah AS, dalam hal ini Kementerian Keuangan (the US Treasury), telah menjatuhkan sanksi ekonomi kepada 13 orang warganegara Rusia yang, sebelumnya, telah menjadi tersangka karena dituduh mencampuri proses Pilpres AS 2016. Ke 13 orang tersangka tsb terkait dengan Badan Riset Internet (Internet Research Agency, IRA/BRI), sebuah perusahaan swasta Rusia yang berkiprah dalam bidang siber.
IRA/ BRI itu sendiri diduga kuat telah ikut mengganggu (meddling) proses Pilpres AS dengan cara merekayasa nama-nama palsu warganegara AS, yang kemudian melakukan kampanye di sosmed dan menggelar aksi-aksi politik untuk mendukung pencapresan Donald Trump dan melemahkan Hillary Cilnton.
Kendati sanksi tsb dianggap cukup baik, tetapi banyak pihak, khususnya dari Partai Demokrat AS, yang mengaggapnya sudah terlambat, karena sejatinya IRA dan 15 orang tsb sudah menjadi tersangka pihak Dewan Penyelidik Khusus yg dipimpin oleh Robert Mueller pada bulan Februari lalu.
Melihat dinamika yang terjadi di AS tsb, saya kira Indonesia juga perlu mencermati dan belajar dari kasus BRI/IRA ini, khususnya dalam menghadapi Pemilu 2019. Pertanyaannya adalah: 1). Apakah praktik jahat melalui siber itu bisa dilakukan di negeri kita, yang masih sangat lemah dalam bidang kamanan siber (cyber security) itu?; 2). Adakah kemungkinan pihak-pihak tertentu (dari dalam dan/atau luar negeri) menggunakan jasa perusahaan siber seperti BRI/IRA untuk mengintervensi, mengganggu, dan memanipulasi proses Pemilu 2019 sebagaimana dlm kasus AS di atas; dan 3). Sejauhmana kemampuan dan kapasitas lembaga-lembaga dan aparat siber nasional, penyelenggara Pemilu, dan penegak hukum kita dalam mendeteksi, menanggulangi, dan mencegah ancaman tersebut?
Pertanyaan pertama, saya kira jawabnya positif, artinya dilakukannya praktik jahat itu harus dianggap tetap ada dan, bahkan, bisa jauh lebih mudah ketimbang kasus IRA/BRI di AS. Pertanyaan kedua, adanya pihak-pihak yang sudah tertarik dan/atau tergoda untuk menyewa pihak lain atau membangun sendiri kemampuan siber hacking seperti itu tidak bisa diabaikan, sehingga lebih baik perlu menjaga kewaspadaan (alertness) yang tinggi.
Pertanyaan ketiga tentu harus dijawab secara lebih transparan oleh para pihak yang terkait. Kendati berbagai upaya deteksi dan cegah dini bisa dan mungking sudah atau sedang dilakukan, tetapi saya khawatir bahwa kapasitas penyelenggara Pemilu dan aparat gakkum di negeri ini masih belum memadai. Karenanya, partisipasi publik dalam membantu penanggulangan ancaman siber dalam Pemilu 2019 adalah niscaya dan urgensinya tinggi. Pemerintah tidak boleh merasa puas diri (complacent) apalagi abai, tetapi belajar dari pengalaman negara adidaya yang Pilpresnya ternyata diintervensi oleh pihak luar.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment