Omongan seorang elit PKB, Lukman Edy (LE), soal perlunya 'POROS ISLAM' (PI) sangat KONTRA PRODUKTIF baik bagi ummat Islam, kaum nahdliyyin maupun bangsa Indonesia. Pikiran tsb seperti ingin membawa partai tsb menjauh dari cita-cita para pendirinya, khususnya almaghfurlah GD, dan cenderung mendekati visi sektarianisme politik yang beliau tolak sepanjang hayatnya.
Di atas permukaan, alasan-alasan membentuk PI itu juga sangat superfisial, atau kalau memakai istilah anak zaman now, "cemen." :
1) Sebagai respons terhadap populisme Islam yang menurut LE sedang meningkat, sehingga perlu ada upaya inisiatif 'melakukan komunikasi dengan partai-partai berbasis Islam'. Saya menduga, maksud yang paling utama adalah menggolkan keinginan Ketum DPP PKB, Muhaimin Iskandar (Imin), sebagai calon wakil Presiden RI pada Pilpres 2019.
2) Tercipta 'satu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam yang perlu dibawa pada agenda nasional.' Alasan ini juga anakronistik, karena faktanya wadah aspirasi ummat Islam tsb sudah banyak (ormas, parpol, LSM. kemlompok cendekia, dll). Bukan soal wadah tunggal yang penting, tetapi bagaimana aspirasi tsb terwujud melalui pelaksanaan yang efektif dalam kerangka NKRI
3) PI bukan hanya untuk persiapan Pilpres 2019, menurut klaim LE. Ini menjadi semakin meragukan karena tidak pernah ada pemikiran dan platform seperti itu di PKB, bahkan ketika lamaghfurlah GD masih ada. Kalau sekarang ujug-ujug muncul pada tahun politik 2018-2019, maka gagasan ini tidak mungkin lepas dari kepentingan tsb.!
Kalau memang gagasan LE ini merupakan pandangan resmi PKB-Imin, maka hal tsb merupakan sebuah kemunduran baik pada tataran paradigmatik maupun pragmatik. Pada tataran paradigmatik, PKB didirikan oleh para ulama dan tokoh nahdliyyin serta menggunakan basis massa jam'iyyah NU justru dengan niat mulia menghilangkan sekat-sekat sektarianisme. Alm GD menyatakan bahwa partai tsb sebagai "partai terbuka" dan mengakomodasi berbagai aspirasi serta kelompok dalam masyarakat Indonesia, karena spirit inklusivisme, bukan primordialisme seperti yang diwacanakan oleh LE dengan poros Islam itu.
Pada tataran pragmatik, usul seperti itu malah mungkin akan menjauhkan PKB (dan Imin) dari dua kekuatan capres yaitu Presiden Jokowi (PJ) sebagai petahana, dan Prabowo Subianto (PS) sebagai salah satu (kalau tidak satu-satunya) lawan paling penting. PJ didukung parpol dan para pendukung non-sektarian, sedangkan PS juga masih harus berusaha memperluas dukungan pemilih yang lebih luas dan inklusif. Koalisi Gerindra dengan PKS akan lebih mampu memperluas dukungan kepada PS jika isu sektarian bisa dihindari dan inkluifisme serta kebangsaan diperluas. Jika PKB-Imin akan bergabung dengan membawa gagasan seperti PI itu, maka justru akan kontraproduktif bagi upaya PS dan Gerindra utk memperluas spektrum politiknya.
Di atas permukaan, alasan-alasan membentuk PI itu juga sangat superfisial, atau kalau memakai istilah anak zaman now, "cemen." :
1) Sebagai respons terhadap populisme Islam yang menurut LE sedang meningkat, sehingga perlu ada upaya inisiatif 'melakukan komunikasi dengan partai-partai berbasis Islam'. Saya menduga, maksud yang paling utama adalah menggolkan keinginan Ketum DPP PKB, Muhaimin Iskandar (Imin), sebagai calon wakil Presiden RI pada Pilpres 2019.
2) Tercipta 'satu wadah untuk menampung aspirasi umat Islam yang perlu dibawa pada agenda nasional.' Alasan ini juga anakronistik, karena faktanya wadah aspirasi ummat Islam tsb sudah banyak (ormas, parpol, LSM. kemlompok cendekia, dll). Bukan soal wadah tunggal yang penting, tetapi bagaimana aspirasi tsb terwujud melalui pelaksanaan yang efektif dalam kerangka NKRI
3) PI bukan hanya untuk persiapan Pilpres 2019, menurut klaim LE. Ini menjadi semakin meragukan karena tidak pernah ada pemikiran dan platform seperti itu di PKB, bahkan ketika lamaghfurlah GD masih ada. Kalau sekarang ujug-ujug muncul pada tahun politik 2018-2019, maka gagasan ini tidak mungkin lepas dari kepentingan tsb.!
Kalau memang gagasan LE ini merupakan pandangan resmi PKB-Imin, maka hal tsb merupakan sebuah kemunduran baik pada tataran paradigmatik maupun pragmatik. Pada tataran paradigmatik, PKB didirikan oleh para ulama dan tokoh nahdliyyin serta menggunakan basis massa jam'iyyah NU justru dengan niat mulia menghilangkan sekat-sekat sektarianisme. Alm GD menyatakan bahwa partai tsb sebagai "partai terbuka" dan mengakomodasi berbagai aspirasi serta kelompok dalam masyarakat Indonesia, karena spirit inklusivisme, bukan primordialisme seperti yang diwacanakan oleh LE dengan poros Islam itu.
Pada tataran pragmatik, usul seperti itu malah mungkin akan menjauhkan PKB (dan Imin) dari dua kekuatan capres yaitu Presiden Jokowi (PJ) sebagai petahana, dan Prabowo Subianto (PS) sebagai salah satu (kalau tidak satu-satunya) lawan paling penting. PJ didukung parpol dan para pendukung non-sektarian, sedangkan PS juga masih harus berusaha memperluas dukungan pemilih yang lebih luas dan inklusif. Koalisi Gerindra dengan PKS akan lebih mampu memperluas dukungan kepada PS jika isu sektarian bisa dihindari dan inkluifisme serta kebangsaan diperluas. Jika PKB-Imin akan bergabung dengan membawa gagasan seperti PI itu, maka justru akan kontraproduktif bagi upaya PS dan Gerindra utk memperluas spektrum politiknya.
Walhasil, hemat saya, manuver PKB-Imin melalui gagasan PI ini memang lebih didorong oleh pragmatisme politik, bukan visioner, dan ambisi politik pribadi serta elite partai tsb untuk masuk ke Istana. Pragmatisme seperti itu berpotensi mengorbankan apa saja, termasuk yang paling utama adalah ruh dan elan kemanusiaan, kebangsaan, dan demokrasi yang menjadi landasan eksistensi partai. Sebelum menjadi lebih besar dan menjadi blunder, gagasan itu HARUS DIKRITISI dan bahkan DITOLAK saja!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment