"Inilah rongsokan yang diimpor ke sini, oleh suatu wilayah yang kalah. Daki kotoran peradaban ini celakanya dimanfaatkan politisi busuk. Mereka meyakini 'Teologi Maut', tak berani hidup, kelompok putus asa sejatinya."
(Buya Syafi'i Maarif, mantan Ketum PP Muhammadiyah)
Metafora yg digunakan oleh Buya Syafii Maarif (BSM) untuk radikalisme dan aksi kekerasan, menurut hemat saya, sangat 'cespleng' dan sekaligus mudah dipahami publik. Kata "rongsokan" dan "daki" keduanya merepresentasikan suatu kondisi yang merupakan bekas, sampah, dan/atau limbah. Walaupun demikian, 'rongsokan' masih punya potensi utk diselamatkan dan dimanfaatkan. Itu berbeda halnya dengan daki (scum) yang berkonotasi kotor dan mesti dilenyapkan.
Radikalisme dan aksi kekerasan, sebagaimana yang kita lihat masih terus berkecamuk di negeri ini dan berbagai negara di dunia lain, adalah ibarat rongsokan dan sampah peradaban. Ia adalah produk peradaban manusia yang bersifat destruktif, dimulai dari tataran gagasan sampai pada tingkat praksisnya. Sepanjang sejarah peradaban, entah sudah berapa banyak rongsokan yang menjadi produk samping dr kemajuan dan keunggulan manusia, yang kemudian dimanfaatkan utk kepentingan-kepentingan tertentu.
Ketika suatu rongsokan dari peradaban didaur ulang, ia bisa menjadi produk baru yang bisa berpotensi positif tetapi juga destruktif. Positif apabila dari rongsokan tersebut dapat diperoleh pelajaran bagi manusia agar tak mengulangi kesalahan-kesalahan yang akan merusak peradaban. Negatif jika hasilnya adalah hanya daki yang makin mengotori kemanusiaan.
Radikalisme dan aksi kekerasan (seperti aksi terorisme) adalah rongsokan peradaban yang derajatnya adalah "daki" . Ia bukan rongsokan yang ada manfaatnya untuk di daur ulang karena dipandang masih ada gunanya. Radikalisme dan kekerasan, karenanya, harus dihilangkan once and for all.
Memberantas radikalisme dan kekerasan bukan ihwal yang mudah, karena banyaknya pihak-pihak yang merasa diuntungkan sehingga akan membelanya, baik terang-terangan atau sembunyi. Dan yang sembunyi biasanya jauh lebih susah dan lama prosesnya ketimbang yang terang-terangan. Yang sembunyi bukan hanya tampak "wadhag" (lahiriah)nya saja, tetapi ada dalam pikiran manusia pendukung dan pemujanya.
BSM menunjuk pada para politisi busuk dan pengusung serta pendukung "Teologi Maut" sebagai para pengguna radikalisme dan kekerasan. Hemat saya, mereka itu pun ada yang terang-terangan, seperti JI, Al-Qaeda, ISIS, JAD, dll., tapi juga ada yg sembunyi-sembunyi dan tak transparan seperti kelompok HTI dan sejenisnya. Belum lagi mereka yang tampak wadhag seakan-aka anti radikalisme, pro-demokrasi, dsb., tetapi perilakunya malah mendukung ideologi dan praktik kekerasan! Diperlukan kewaspadaan, kewaskitaan, ketegasan, dan keberanian serta kekuatan untuk menghadapi, menangkal, dan menanggulangi kedua jenis users tsb.
Itu sebabnya deradikalisasi BUKAN hanya sebuah program apalagi proyek saja; tetapi sebuah GERAKAN nasional (a national movement) yang sistemik, terstruktur, dan massif dalam jangka panjang. Gerakan deradikalisasi nasional (GDN) bukan hanya dilakukan sepenuhnya oleh negara, tetapi juga melibatkan organisasi masyarakat sipil (OMSP) dan setiap warganegara. Gerakan deradikalisasi bukan hanya soal pemberantasa atau eliminasi, tetapi juga rehabilitasi dan penyelamatan serta perlindungan dari ancaman radikalisme dan kekerasan dari batang tubuh bangsa Indonesia.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment