Dialog di CNN TV terkait Pilkada 2018 di Jatim (14/10/17) membahas bagaimana suara kaum nahdliyyin, yang dianggap menentukan di wilayah tersebut, akan diperebutkan terutama oleh dua kandidat yang paling menonjol: Wagub Jatim, Syaifullah Yusuf (Ipul) dan Mensos Khofifah Indar parawansa (Khofifah). Ada kekhawatiran publik, jika suara kaum nahdliyyin pecah, maka akan berpengaruh negatif terhadap perolehan suara kedua cagub tersebut, dan membuka peluang munculnya "kuda hitam" pada Kontestasi Jatim-1 tsb. Dialog dipandu oleh Budi Adiputro (BA) dengan narsum Sirajuddin Abbas (SA), dari SRMC, dan saya sendiri.
Menyimak perkembangan yang sedang terjadi pada Pilkada Jatim, sulit untuk menghindar dari wacana perebutan di dalam NU antara kedua cagub tsb, dan jika tidak cermat, maka akan muncul semacam generalisasi bahwa pemilih NU seakan-akan merupakan pemilih en-blok yang solid mengikuti para Kyai atau ulama mereka. Konsekuensinya, ulama dan Kyai NU akan menentukan kemenangan calon-2 tsb.
Hemat saya, generalisasi seperti itu kendati menarik dan sensasional, tetapi tak mencerminkan realitas yang dinamis dalam masyarakat nahdliyyin di Jatim. Sebab fakta-fakta lapanga menunjukkan terjadinya perubahan-2 mendasar terkait pengaruh Kyai dan atau ulama dalam kiprah politik masyarakat, termasuk nahdliyyin, sehingga belum tentu calon yang didukung Kyai otomatis akan didukung kaum nahdliyyin.
Dalam kontestasi antara Ipul vs Khofifah ini, yang menarik adalah justru bagaimana kedua calon tsb mampu menarik pemilih di luar kaum nahdliyyin yang jumlahnya cukup besar. Jika mereka hanya berkutat di dalam kantong-2 suara NU saja, bisa jadi calon ketiga (kalau ada) yang malah akan meraup keuntungan. Dalam hal ini posisi PDIP dan siapa yang dicalonkan dalam Pilkada Jatim ini penting karena sebagai parpol kedua terbesar perolehannya di Jatim setelah PKB, ia akan mempunyai pengaruh besar di luar pemilih dari kaum nahdliyyin.
Hari ini, saat status ini ditulis dan diposting (15/10/17), DPP PDIP telah memutuskan mendukung Ipul dan mengajukan Azwar Anas (AA), Bupati Banyuwangi, sebagai cawagubnya. Keputusan ini merupakan perkembangan penting. Ipul jelas akan mendapat dukungan partai yang juga sedang berkuasa di Republik ini, dan mendapat cawagub yang memiliki popularitas dan kapabilitas tinggi di Jatim, dan juga dari warga nahdliyyin, kendati beliau adalah kader PDIP, Ipul dan AA merupakan dua kolega yang sangat dekat sejak lama sebagai politisi di PKB. Chemistry keduanya tak perlu diragukan lagi sehingga pasangan cagub-cawagub ini merupakan lawan berat siapapun, termasuk Khofifah.
Namun demikian bukan berarti Khofifah atau cagub lain tak punya kesempatan utk mengimbangi pasangan Ipul-AA tsb. Sebagaimana saya kemukakan dalam dialog itu, pasangan idela dalam Pilkada Jatim 2017 bukan hanya dari sesama nahdliyyin, tetapi membuka peluang kepada tokoh dari kalangan lain. Kemenangan Pakdhe Karwo-Ipul adalah contoh bagaimana pasangan seperti itu berhasil menangguk dukungan kuat dari pemilih Jatim sehingga berhasil memenangi Pilkada dua kali.
Jika Khofifah, misalnya, mampu mendapatkan cawagub yang juga memilkik popularitas dan kapabilitas sebanding atau lebih baik ketimbang AA, bisa saja akan menjadi lawan tanding yang kuat bagi Ipul. Jatim memiliki populasi yang heterogen secara budaya, sehingga tidak mungkin hanya akan didominasi satu kelompok masyarakat saja. Dan faktanya, kaum nahdliyyin di Jatim juga berada dalam parpol-parpol selain PKB atau PPP saja.
Dinamika Pilkada Jatim masih akan berkembang dan tidak bisa diprediksi terlalu pagi. Silakan menyimak tautan video berikut ini dan memberikan komentar.
https://www.youtube.com/watch?v=mbCWbGj99cQ
https://www.youtube.com/watch?v=mbCWbGj99cQ
0 comments:
Post a Comment