Perkembangaan dan dinamika dlm usaha melemahkan KPK semakin mengarah kepada penggunaan demgogi di ruang publik. Para detraktor lembaga antirasuah, kini makin tak terkontrol melampiaskan kemarahannya di media (trmsk medsos). Bahkan sementara media yg besar dan berpengaruh scr politik seakan2 telah berperan sebagai 'fasilitator' dan pendorong (enabler') para demagog tsb.
Misalnya, di sebuah acara yang beken milik salah satu stasiun TV nasional, KPK dengan semena-mena dituding oleh seorang tokoh politik "telah mengadu domba dan memecah belah bangsa Indonesia." Dengan lantang dia simpulkan bhw "KPK itu kayak PKI." (lihat tautan video YouTube di bawah)
Pertanyaan yang langsung muncul dalam pikiran saya saat menonton episode tsb adalah: "Apakah tudingan tsb berdasarkan fakta dan bukti yang dpt dipertanggungjawabkan secara hukum? Ataukah hanya demagogi politik yang merupakan ekspressi kecurigaan, luapan kemarahan, dan kedengkian pribadi dan kelompok kepentingan?"
Jika kita cermati berbagai laporan survei ttg kepercayaan rakyat thd lembaga2 negara, maka kepercayaan thd KPK jauh mengungguli kepercayaan thd DPR. Ini adalah fakta dr hasil survei. Juga secara faktual, para politisi baik DPR maupun DPRD yang terlibat kasus tipikor jumlahnya cenderung meningkat dr tahun ke tahun. Demikian pula makin meningkatnya upaya pelemahan thd KPK oleh DPR yang secara kasat mata disaksikan publik di dalam dan di luar negeri.
Publik yg sehat dan fair tentunya bisa dengan mudah menilai tudingan2 di atas dengan membandingkan antara fakta dan demagogi. Sayangnya media besar ndableg dan merasa 'tidak ada masalah' dengan segala penyebarluasan kebohongan, kebencian, dan kedengkian thd KPK. Alih2 melakukan koreksi dan menghentikannya, media malah seperti 'menikmati' dan mengkapitalisasi kegaduhan publik yg dia sengaja ciptakan melalui ekspose para demagog politik.
Media yang bebas adalah sebuah keniscayaan dan salah satu pilar dari sebuah sistem demokrasi. Namun yang dimaksud dengan media yang bebas, tentulah bukan bebas dalam hal menyebarkan demagogi dan kebohongan serta kebencian di ruang publik. Media seperti itu justru merupakan racun yang berbahaya bagi keberlangsungan dan penguatan sistem demokrasi. Sebab sambil berpura-pura membela dan mengatasnamakan demokrasi, ia sejatinya telah dengan sengaja mencabik-cabik tenunan-tenunan demokrasi yang susah payah dirajut oleh anak bangsa setiap detik, setiap jam, dan setiap hari!
Orang tidak perlu repot-repot dengan menggunakan teori persekongkolan untuk bisa menilai relasi media dengan para pembenci KPK pada saat ini. Dengan menyaksikan tayangan2 media yang ada tiap hari, orang akan dengan mudah membuat kesimpulan bahwa ada semacam 'aliansi sesat' (unholy alliance) antara media tertentu dengan sementara pihak yang menginginkan KPK hancur atau setidaknya menjadi lemah dan tak efektif menjalankan tupoksinya.
Demokrasi memerlukan ruang publik yang sehat, sama halnya manusia perlu dukungan sebuah lingkungan hidup yang sehat. Sayangnya ruang publik yang kita miliki saat ini kian tidak kondusif bagi pengembangan demokrasi. Ibarat danau yg menjadi kian tercemari, maka ia tidak mungkin mampu mendukung kehidupan ikan dan flora yang hidup di situ. Ibarat sebuah kota yang tingkat polusinya sudah parah, maka penduduknya juga terancam kesehatannya.
KPK kini makin terancam keberadaannya dengan proses pelemahan dan penghancuran sistematis, termasuk dengan cara mencemari ruang publik dengan demagogi dan pembohongan publik melalui dukungan media. Kita perlu kritis terhadap media, termasuk media sosial, yang seperti itu sehingga kita tidak menjadi pelaku pencemaran lingkungan demokrasi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, baik aktif maupun pasif.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment