Kemarin, tgl 15/5/17, saya mendapat kesempatan ikut dalam diskusi di Kantor Komnas HAM, Jl. Latuharhari, Jakpus, dengan tema "Intoleransi & Radikalisme" yang diselenggarakan bersama antara Infid & Komnas. Para panelis selain saya adalah Asfinawati (Ketua LBH Indonesia), Imdadun Rahmat (Komnas HAM), dan moderator, M. Khoiron (Komnas HAM).
Saya menggunakan perspektif keamanan nasional (national security) untuk membingkai permasalahan tsb serta bagaimana mencari solusi atasnya, termasuk di dalamnya menyikapi kebijakan pembubaran ormas HTI yg beberapa waktu lalu diumumkan oleh Menko Polhukam, Wiranto. Perspektif kamnas, hemat saya, sangat relevan utk digunakan karena biasanya dalam wacana terkait radikalisme, acapkali dilupakan bahwa negara memiliki hak untuk memertahankan keberadaannya dan melakukan tindakan menghadapi ancaman yang dipersepsikan ada maupun yang nyata ada serta hadir.
Ancaman dari gerakan radikal, yang dimaksudkan utk mengubah secara fundamental eksistensi negara yang berdaulat baik melalui cara kekerasan maupun tidak, merupakan salah satu dampak dari dinamika perubahan lingkungan strategis (lingstra) global, regional, dan nasional. Hegemoni negara-2 adikuasa yang merlemah, pergeseran kekuatan militer dan ekonomi dunia, dan munculnya ideologi-ideologi penantang, serta berkembangnya teknologi informasi yg luar biasa, membuka peluang bagi tampilnya aktor-2 non negara (non-state actors) yang mampu menantang supremasi negara.
Akor-2 non negara itu bukan saja menggunakan ideologi-2 alternatif, tetapi juga kekuatan politik dan militer ditopang oleh jejaring yg mendunia utk melakukan penetrasi, infiltrasi, serta aksi-aksi kekerasan spt terorisme. Indonesia menjadi salah satu target kekuatan non-negara tsb karena berbagai alasan: geopolitik, geo-demografis strategis, kekuatan umat Islam, dan posisinya sebagai salah satu pemimpin dunia Islam. Kondisi politik Indonesia pasca-reformasi yang masih belum mengalami konsolidasi demokrasi juga membuka peluang bagi masuknya pengaruh trans-nasional ideologies, khususnya yang bersumber dari kelompok-kelompok Islam garis keras (Igaras).
Utk mengatasi dan merspon secara efektif ancaman Igaras, yg menyatu antara elemen dr dalam dan transnasional di Indonesia tsb, diperlukan sebuah pemahaman yg baik mengenai ideologi-2 dan gerakan-2 anti NKRI. Misalnya, sambil mengutip pandangan alm KH, Hasyim Muzadi, kita harus bisa membedakan antara Islam, aliran dalam Islam, dan gerakan politik atas nama Islam. Jika para elit dan rakyat tidak memiliki pemahaman yg sama ttg masalah ini, maka akan sangat mudah dipengaruhi, dimanipulasi, dan akhirnya dijadikan sebagai target. Kasus HTI saat ini bisa menjadi contoh, bagaimana sebuah gerakan politik radikal anti-NKRI ternyata dapat bertumbuh dan berkembang di Indonesia, sementara di berbagai negara Timteng, Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika, dan Eropa dilarang.
Perdebatan dalam menyikapi keputusan Pemerintah Presiden Jokowi utk membubarkan dan melarang gerakan HTI, hemat saya, masih menunjukkan kekurang pahaman terhadap ancaman yg nyata dan hadir tsb. Pihak-2 seperti Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil yg berkiprah dalam perlindungan HAM, sengaja atau tidak, mengabaikan fakta dan konsekuensi dari maraknya gerakan anti-NKRI tsb. Jika kekuatan-2 tsb menjadi dominan dan menguasai negeri ini, maka salah satu target utama mereka adalah menghancurkan demokrasi dan perlindungan HAM yang meurut doktrin ideologi mereka harus ditolak.
Sebagai kesimpulan saya, perlu dilakukan kerja-2 pemikiran dan aktifisme kreatif dari Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil Indonesia (OMSI) dalam menghadapi ancaman radikalisme saat ini dan di masa depan. Eksistensi NKRI adalah yang utama dan terutama menjadi pertaruhan. Tanpa jaminan terhadap eksistensi tsb, maka tidak aan ada artinya bicara dan berkiprah dalam memperjuangak demokrasi, perlindungan HAM, dll.
0 comments:
Post a Comment