Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penodaan agama, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, bisa dikatakan absurd alias tidak masuk akal, aneh, dan lucu campur jadi satu. Seperti kita ketahui bersama, JPU, Ali Mukartono (AM), yg membacakan tuntutan tsb menyatakan bahwa Ahok telah bersalah karena "menimbulkan perasaan permusuhan yang diatur dalam pasal 156 KUHP." Oleh sebab itu, pria yang baru saja dikalahkan dalam Pilkada DKI putaran kedua tsb dituntut hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Tuntutan JPU itu absurd bukan saja karena secara legal formal berbeda dengan dakwaan melakukan penodaan agama, yang selama ini merupakan inti persoalan sehingga Ahok diproses secara hukum, tetapi juga absurd karena makin mengindikasikan bahwa peradilan ini sangat politis. Oleh sebab itu, respon yang muncul setelah pembacaan tuntutan tsb, cenderung negatif baik dari pihak yg selama ini menginginkan Ahokl dihukum berat, maupun pihak yang selama ini sudah mencurigai atau menganggap kasus ini politis belaka.
Bagi pihak anti-Ahok, tuntutan JPU sama saja dengan membebaskan sang terdakwa, karena hukuman aetahun dengan percobaan dua tahun itu ipso facto Ahok tdk akan pernah masuk penjara. Lalu buat apa proses hukum yg demikian menyita tenaga dan waktu, menggunakan aksi-aksi massa yg demikian heboh, dan menggunakan argumentasi pembelaan thd Islam, dst dsb, kalau hanya seperti itu tuntutannya? Bukankah ini justru sama saja dengan meremehkan makan perjuangan membela agama yg demikian utama? Apakah JPU melakukan hal tsb sebagai bagian dari agenda yang lebih sinis thd ummat Islam melalui suatu rekayasa hukum?
Tetapi demikian pula bagi pihak yang menganggap proses hukum ini sebagai sebuah dhagelan politik. Tuntutan JPU adalah sebuah indikasi ketidak seriusan dan bahkan kegagalan utk membuktikan dakwaan yg sejatinya sejak awal sudah kelihatan. Mulai dari proses penuntutan yg sterkesan buru-buru, penampilakn saksi-saksi yang lemah, dan ketidak profesionalan tim Kejaksaan dlm menyiapkan tuntutan sehingga harus ditunda sampai Pilkada putaran kedua selesai. Bagi pihak pendukung Ahok, seharusnya tuntutan JPU yg tepat adalah membebaskan sang Gubernur dari semua dakwaan. Justru dengan cara 'mbulet", merubah tuduhan penodaan menjadi permusuhan, malah ketahuan bahwa telah terjadi semacam ketidak konsistenan dan ketidak solidan tuntutan. Artinya, dugaan bhw proses peradilan ini adalah politis lantas mendapat topangan kuat.
Itulah sebabnya pasca-pembacaan tuntutan tsb, JPU malah menjadi bulan-2an kritik dari semua arah. Termasuk dari kalangan pegiat HAM yg menganggapnya sebagai sebuah kemunduran dalam perlindungan thd hak berekspressi dan perlindungan kelompok minoritas. Pada ujungnya, karena Kejaksaan adalah bagian integral dri Pemerintah, maka Presiden Jokowi (PJ) juga kena getahnya, secara politik. Pihak anti PJ tentu dengan sangat gembira akan memanfaatkan absurditas ini sebagai peluru utk mendiskreditkan beliau. Padahal sejak awal sebelum kasus ini berproses, PJ telah n bhw dirinya tidak akan campur tangan, apalagi intervensi.
Tentu saja tahap penuntutan ini belum final. Karena masih ada pleidoi dr pihak terdakwa, dan ujungnya adalah putusan Hakim. Hemat saya, agar kecurigaan bahwa proses peradilan ini tidak menjadi bahan olok-2 dan dianggap dhagelan politik, dan proses peradilan ini benar-2 mencari keadilan, putusan Majelis Hakimlah yg akan menjadi titik utamanya. Jika putusan hakim mengulang absurditas yg terjadi saat ini, maka implikasinya akan lebih negatif lagi. Bukan saja kepastian hukum dan keadilan makin jauh, tetapi bisa diperkirakan akan makin memanaskan suasan politik di ibukota yang dampaknya akan terasa di seleruh Indonesia.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment