Pidato calon Gubernur DKI, Anies R. Baswedan (AB) pada Senin malam (3/4/2017) di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, menarik utk disimak secara kritis karena di dalamnya bermuatan pandangan-2 beliau mengenai bagaimana visi dan misinya sebagai cagub dalam Pilkada 2017 dan juga pandangan dasar atau filosofis yang menjadi fondasinya. Pandangan dasar tersebut, setidaknya bagi saya, tak kalah penting utk dicermati karena dari sanalah seluruh visi, misi,aksi, dan program kerja Paslon 3, khususnya AB, akan direncanakan, diperjuangkan, dan diwujudkan dalam kenyataan.
Menyimak video pidato kebangsaan AB yg bertema "Persatuan Indonesia" itu, terdapat beberapa poin yg patut kita apresiasi. Antara lain yg terpenting adalah: 1) Komitmen AB terhadap demokrasi dan nilai-nilai dasar seperti hak asasi manusia, termasuk hak warganegara untuk memilih dan di pilih tanpa ada pemaksaan dari manapun; 2) Komitmen AB terhadap penegakan dan ketaatan hukum oleh penyelenggara negara (birokrasi pemerintah), perlu diacungi jempol. Dalam hal ini AB menyatakan bhw Pemda harus patuh terhadap hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan tanpa pandang bulu; dan ke 3) Komitmen AB terhadap pembangunan DKI yg berorientasi kepada manusia dan peningkatan kualitas manusia, bukan hanya berorientasi kepada apa yg disebut beliau sebagai 'pembangunan benda-benda mati', seperti infrastruktur.
Namun demikian cacatan kritis perlu diberikan kepada AB dalam hal-hal sbb: 1) Pandangan beliau mengenai kebhinekaan, yg dianggap tidak perlu diperjuangkan karena ia adalah sebuah fakta. Yg perlu diperjuangkan adalah 'persatuan dalam kebhinnekaan'; 2) Sikap AB terhadap gagasan-gagasan dan aksi-aksi yang bisa disebut telah mencederai prinsip demokrasi dan persatuan, khususnya radikalisme dan SARA dlm proses Pilkada DKI; dan 3) Kontradiksi AB dalam menyikapi model pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yg sedang berkuasa di DKI, khususnya pembangunan infrastruktur.
Hemat saya, pandangan AB mengenai kebhinnekaan sebagai fakta statis sehingga tak perlu diperjuangkan adalah problematik. Sebab kebhinekaan tidak hanya bisa dilihat secara empiris, tetapi juga dalam bentuk gagasan, ide-2, dan persepsi serta perilaku. Manusia bisa saja memiliki kemiripan dalam kesukuan dan keberagamaan, tetapi belum tentu mereka share dalam gagasan, pemikiran, ideologi, dan perilaku yg muncul dari elemen-2 tsb. Kebhinekaan sebagai fakta empiris dan fisik adalah cara berfikir yg reduksionistik dan materialistik. AB menafikan aspek budaya yang bisa bersifat cair (fluid) dan samar (blurred), sehingga selalu merupakan hal yang memerlukan pemahaman, penyikapan, dan pengelolaan terus menerus yg sifatnya 'open-ended'.
Walhasil kebhinekaan bukan hanya fakta fisik dan empiris belaka, sehingga pemahaman ttgnya pun perlu suatu perjuangan, kendati mungkin tdk sama dengan perjuangan fisik. Implikasinya jika beliau akan memperjuangkan persatuan dlm kebhinekaan, maka pada saat yg sama sejatinya juga memperjuangkan kebhinekaan itu sendiri. Kelemahan dr cara pandang AB adalah melihat kebhinekaan secara statis dan menafikan pentingnya pemahaman diri (self-understanding) dari subyek-subyek yang berbeda. Perjuangan utk memperkokoh persatuan akan cenderung mengutamakan rekayasa sosial dan politik yg formal namun mengabaikan aspek budaya, tradisi, dan praksis yg khas.
Pandangan inilah yg kemudian menjelaskan mengapa ketika AB bicara mengenai problem kehidupan beragama di DKI, misalnya, beliau hanya secara eksklusif bicara ttg problem yg dihadapi sebagian ummat Islam yg menurut perlu diperhatikan. Namun AB sama sekali tdk menyinggung problem yg dihadapi oleh komunitas ummat beragama lain di DKI. Demikian pula AB tidak menyentuh sedikitpun masalah SARA yg dipolitisasi dalam kampanye Pilkada DKI. Jika AB memang peduli dg masalah membangun persatuan dalam kbhinekaan, maka isu SARA semestinya menjadi salah satu top priority beliau. Bagaimana AB akan membangun persatuan dlm kebinekaan jika tidak berfikir inklusif?
Yg terakhir, kritik AB thd pembangunan infratruktur yg menjadi salah satu primadona pemerintahan Ahok menjadi kontradkitif dengan statemennya yg menginginkan agar sistem transportasi publik yg integratif dibangun di DKI. Bukankah salah satu top priority dr pembangunan infrastruktur oleh Pemda DKI adalah sistem trasportasi integratif tsb? Bahwa proses tsb masih berjalan dan belum selesai, itu masalah lain. Tetapi sulit utk dibantah bahwa pembangunan infrastruktur transportasi di DKI juga dilaksanakan dalam rangka meraih tujuan 'memanusiakan warga DKI'.
Simak tautan ini:
(https://www.youtube.com/watch?v=SSj86Lh-5No)
0 comments:
Post a Comment