"Pada kenyataannya, ketika Anda membuat orang lain menderita, maka ia akan mencari cara bagaimana agar Anda menderita lebih besar lagi. Hasilnya adalah eskalasi penderitaan pada kedua belah pihak."
(Thich Nhat Hanh, aktivis anti-kekerasan dan spiritualis Buddhis asal Vietnam)
Konflik, khususnya yang menggunakan kekerasan, pada umumnya sulit sekali dihentikan karena pihak-pihak yang berkonflik berusaha menyelesaikannya dengan prinsip retributif, artinya pembalasan yang sama thd apa yang diterima. Prinsip yang dari luar tampak "adil" itu bisa jadi malah membuat konflik mangalami eskalasi dan bukan resolusi, apalagi jika retribusi yang diinginkan tidak bersifat material, tetapi non material. Oleh sebab itu, pendekatan keadilan yang hanya retributif belaka kian dipertanyakan efektifitasnya dalam rangka menyelesaikan konflik-2 sosial yang berskala besar dan mendalam pada psyche masyarakat.
Itu sebabnya semakin kuat dorongan utk menyelesaikan konflik-2 spt itu dengan menggunakan prinsip restoratif, artinya merehabilitasi pihak-2 yang berkonflik, bukan saja para korban, tetapi juga pelaku dan masyarakat secara umum. Resolusi konflik semacam ini tidak lagi menekankan pada 'pembalasan', tetapi kembalinya keselarasan, rekonsiliasi, dan pemulihan martabat (dignity) dari korban, serta jaminan bahwa tidak akan terjadi penistaan atau kekerasan lagi. Ini tentu memerlukan jiwa besar baik dari korban maupun pihak yang melakukannya, sehingga rekonsiliasi akan bisa dilakukan baik secara gradual maupun dengan cepat. Masyarakat yg memilih rekonsiliasi ketimbang pembalasan akan lebih damai dan mampu menjaga solidaritas serta keutuhannya.
0 comments:
Post a Comment