Pasca dilantiknya Presiden AS ke 45, Donald J. Trump (DT) pada 20 Januari 2017 lalu, diberbagai kota besar negeri itu terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran sebagai protes sang Presiden baru itu. Kota-kota seperti Washington DC, Boston, New York, Philadelphia, Chicago, dan Los Angeles, menyaksikan ratusan ribu pengunjuk rasa yang menggunakan nama Unjuk Rasa Hak-hak Kaum Perempuan (Women Right's Rally). Bukan hanya di AS saja, tetapi aksi protes yang sama juga terjadi di kota-kota lain di Eropa seperti Mexico City, Paris, Berlin, London, Praha, dan Sydney. Pesan yang disampaikan oleh protes tsb adalah: delegitimasi terhadap pemerintahan DT.
Fenomen penolakan massif terhadap seorang Presiden yang terpilih seperti ini bisa jadi baru pertama kali terjadi dalam sejarah AS, apalagi dilakukan oleh mayoritas kaum perempuan. Menurut salah seorang peserta demo, seorang aktris bernama America Ferrera, "(k)ami berunjuk rasa sebagai dukungan kepada inti moralitas bangsa ini, yang sedang diperangi oleh Presiden baru ini." (We march today for the moral core of this nation, against which our new president is waging a war)." Sebab "kehormatan, karakter, dan hak-hak kami sedang diserang, sedangkan sebuah platform kebencian dan perpecahan justru berkuasa mulai kemarin." (Our dignity, our character, our rights have all been under attack, and a platform of hate and division assumed power yesterday).
Kendati aksi demo tersebut menggunakan tema hak-hak asasi kaum perempuan, namun sangat kentara bahwa target utama dari protes mereka adalah DT, yang dalam kampanye selama pencapresan pada 2016 dianggap sarat dengan pesan-pesan dan rencana-rencana kebijakan yang diskriminatif thd kaum migran, kaum minoritas Muslim, dan kaum perempuan. Protes ini menjadi semacam pertanda bahwa Presiden Trump akan menghadapi perlawanan yang sangat serius jika beliau tetap konsisten dengan berbagai janji-janji kampanyenya. Perlawanan tsb bukan hanya berasal dari rakyat AS tetapi juga negara-2 yang menjadi mitranya, seperti di Eropa, Amerika Latin, dll.
Di tengah-2 aksi demo itu sebuah meme perlawanan muncul dan menjadi sangat terkenal di seantero negeri. Yakni foto silhuet dari seorang aktifis perempuan Amerika keturunan Bangladesh bernama Munira Ahmed (MA). Gambar aktivis yg tinggal di Queen, New York, yang mengenakan jilbab dari bendera AS (The Stars & Stripes), menjadi viral dan menjadi salah satu simbol perlawanan thd diskriminasi dan Islamofobia yang dialamatkan kepada DT. Pembuat silhuet MA adalah orang yg sama yg juga pernah membuat silhuet Obama, yaitu Shepard Fairey (SF), seniman yg karyanya menjadi meme di seluruh AS itu.
Amerika di bawah Presiden Trump sedang menghadapi gelombang tantangan besar yang bisa jadi akan mempengaruhi posisinya sebagai kekuatan adikuasa. Kekuatan dan kedigdayaan yang dinikmati sebagai negara adikuasa selama lebih dari 100 terakhir ini, bisa berubah drastis apabila sang Presiden kehilangan legitimasnya baik dari rakyatnya sendiri maupun dari masyarakat internasional. DT tampaknya harus melakukan penyesuaian-2 yg signifikan dari rencana ambisusnya yang ternyata ditolak oleh rakyatnya sendiri. Dan meme dari MA merupakan sebuah petunjuk bahwa kaum perempuan, kaum minoritas, rakyat non-kulit putih, dan para imigran, adalah kekuatan baru dalam masyarakat AS yg mesti diperhitungakan di masa datang.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment