Pasca-aksi demo 411 dan 212 yg diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI), Ketum MUI, KH Ma'ruf Amin (MA), melontarkan usulan kepada Presiden Jokowi (PJ) agar diselenggarakan sebuah dialog nasional (DN) dalam rangka rujuk nasional (RN). MA beralasan bahwa sebuah DN diperlukan "untuk memfasilitasi komunikasi seluruh elemen bangsa." Tujuan DN, masih kata MA, adalah "... guna menghindari kecurigaan-kecurigaan, prasangka yang justru bisa membuat salah paham." Hal ini disebabkan karena "(a)da praduga-praduga yang tidak tepat... (yang) ... tidak baik jika terus didiamkan karena berpotensi memecah persatuan seluruh elemen bangsa. Jadi perlu dibangun komunikasi semua pihak."
MA merasa perlu utk menyelenggarakan DN ini setelah terjadinya aksi-aksi demo yg berasal dari kasus tuduhan penistaan agama (Islam). MA menganggap "perlu ada konsensus kembali untuk membela NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika." Dalam kaitan ini, peran agama sangat penting, sebab "tidak terlepas dari keberadaan Indonesia yang religius." Bagi Rais Am PBNU itu, "beragama memang harus dijamin, tetapi kebebasan beragama secara menyimpang tidak dapat dibenarkan–dijamin."
Jika dicermati, maka sejatinya yang menjadi perhatian dan kepedulian MA utk melakukan DN adalah persoalan relasi antara negara dan agama (Islam) di negeri ini, menyusul terjadinya kasus Ahok. Saya kira usulan tsb masuk akal jika dilihat dari kepentingan strategis bagi Indonesia saat ini dan yang akan datangmenghadapi berbagai ancaman kamnas dalam dunia yg sedang berubah. Bagaimanapun juga, salah satu persepsi thd sumber ancaman yg paling utama bagi Indonesia bersumber dari muncul dan berkembang ideologi transnasional dan kekerasan yg memakai kedok agama konflik horizontal dan bahkan terorisme. Agama-agama di Indonesia, tak hanya Islam saja, memang perlu lebih intensif dalam komunikasi antar mereka sendiri dan dengan negara. Paradigma bernegara yg kini telah berubah setelah reformasi, khususnya penerapan sistem demokrasi konstitusional, mau tidak mau akan memengaruhi relasi negara dan agama serta pemeluknya. Dan ummat Islam sebagai bagian integral bangsa Indonesia tentunya sangat berkepentingan utk meneguhkan komitmen kebangsaan dalam bingkai NKRI.
Kendati demikian, saya melihat perlunya dibangun lebih dulu konsensus nasional bagi internal elite ormas-ormas Islam, sebelum DN itu dilaksanakan. Sebab fakta menunjukkan bahwa internal ummat Islam di Indonesia juga bervariasi dalam penyikapan merekas thd masalah relasi agama dan negara, termasuk masalah yg terkait dengan hak beragama. Selain itu, apakah MUI memiliki otoritas utk menjadi representasi dari berbagai ormas Islam yang ada di negeri ini pun masih dipertanyakan. Jika MUI mengklaim sebagai representasi ummat dan ormas Islam di Indonesia dan melakukan DN dengan Pemerintah yg merupakan representasi dari Negara, maka belum tentu hasilnya akan efektif. Belum lagi jika seandainya ormas-ormas yang akan dilibatkan oleh MUI ternyata dipertanyakan validitasnya, seperti, katakanlah, HTI.
Oleh karenanya apakah tidak sebaiknya DN yg diusulkan oleh Ketum MUI itu diselenggarakan pasca-dialog nasional internal elite ormas-ormas Islam yang memang memiliki komitmen yg sama tentang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, lalu hasilnya akan didialogkan dengan Pemerintah. Jika demikian, maka pertanyaan PJ mengenai "rujuk nasional" (RN) tidak perlu ada, karena semangat DN memang bukan mencari penyelesaian konflik atau dalam rangka rujuk. PJ benar ketika beliau mengatakan buat apa ada rujuk kalau faktanya tidak ada yg berantem.Yang ada adalah peneguhan kembali komitmen kehidupan kebangsaan, Pancasila, Konstitusi, dan kebhinnekaan dari ummat beragama khususnya Islam. Jika ada konsensus-2 baru yg akan dibuat, maka bingkainya pun sudah jelas karena pihak-2 yang menolak Pancasila dan Konstitusi, serta bermaksud membentuk Kekhalifahan dan Negara Islam di Indonesia, otomatis tidak akan menjadi peserta DN.
DN yg akan dilaksanakan jadinya bukanlah terkait dengan masalah-2 mikro tetapi masalah strategis yg berjangka panjang dan terkait dengan keberlangsungan NKRI sebagaimana dimaksukkan oleh para pendiri negara. Ummat Islam di Indonesia, sebagai bagian integral dari NKRI wajib mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari setiap ancaman. Dan ormas-2 Islam yang memiliki komitmen kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia tentu saja merupakan reprentasi-2 mereka.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment