Politisi Partai Golkar yg juga salah seorang mantan Ketua PBNU, Nusron Wahi (NW), boleh-boleh saja menghimbau publik agar aksi 212 di Monas tidak dibenturkan dengan aksi 412 di Bundaran HI. Namun bagi seorang pengamat politik seperti saya sulit untuk tidak membuat perbandingan kedua event tsb karena keduanya adalaj ekspressi sebuah gerakan politik yg memiliki signifikansi dalam kancah perpolitikan Indonesia baik saat ini dan masa depan. Terlebih lagi keduanya merepresentasikan basis dukungan, metode, dan yg terpenting kekuatan yg berbeda. Sehingga pengaruh keduanya terhadap dinamika politik, khususnya dlm konteks sistem demokrasi yg sedang bertumbuh (a fledgling democracy), di negeri ini perli dicermati. Ini bukan pembenturan, tetapi perbandingan biasa saja yg sah dalam wacana dam praksis politik.
Saya berangkat dari sebuah perspektif yang mencoba memahami fenomena politik yg direpresentasikan oleh kedua aksi tsb yg membedakan antara politik massa dengan politik elektoral. Yg disebut belakangan itu tak hanya yg ada di lembaga politik formal spt Parlemen saja, tetapi juga di luarnya yg dilakukan oleh partai2 politik dengan memobilisasi pendukungnya. Sementara itu politik massa lebih bersumber dari mobilisasi oleh elemen2 dalam masyarakat sipil dengan tujuan menncapai tujuan plitik tertentu.
Di dalam sebuah masyarakat demokratis dan terbuka spt di Indonesia, keduanya sah2 saja dan merupakan fenomena yang sehat. Di negara yg paling lama memraktikkan demokrasi pun, politik massa merupakan hal yg biasa dijadikan sebagai wahana penyampaian aspirasi yg mungkin tak efektif jika melalui Parlemen. Namun demikian fenomena politik massa juga bisa merupakan sebuah indikator telah adsnya pelemahan atau disfungsi dari politik elektoral. Bahkan jika kekuatan politik massa itu ternyata lebih besar dan mampu merubah rezim yg ada atau menghasilkan perubahan fundamental, maka berarti bhw politik elektoral telah gagal dan/atau kehilangan legitimasinya.
Bagaimana dg aksi 212 dn 412? Hemat saya 212 (dan rentwtan sebelumnya, 1410 dan 411) adalah sebuah fenomena politik massa yg paling kuat pasca reformasi dan dapat berdampak serius thd konsolidasi demokrasi yg sedang berjalan. Hal itu disebabkan politik massa tsb dapat diduga mengarah kepada suatu perfantian pemerintahan (regime change). Kasus penistaan agama adalah salah satu pintu masuk yg efektif utk mobilisasi kekuatan dan konsolidasi politik. Primordialisme dam sektarianisme menjadi ideologi alternatif yg dijadikan sebagai alat legitimasi gerakan oleh para pemimpin dan pendukungnya. Fakta yg ada menunjukkan bhw getalan tsb sangat sukses dlm melakukan mobilisasi massa dan berhasil membuat Pemerintah mengakui keberadaan dan memenuhi sebagian dr tuntutan aspirasi politik mereka.
Di pihak lain aksi 412 adlah sebuah ekspressi politik elektoral yg sedang melakukan monilisasi kekuatan melalui massa yg mendukung parpol2 pelaksana aksi tsb. Tujuannya sangat terbatas jika dibandingkan dengan yg disebut pertama tadi, kendati dibungkus dengan retorika dan pageantry serta pengerahan massa yg cukup besar. Jika dibanding dg aksi 212, maka dalam aksi 412 tak memiliki landasan ideologi yang cukup kohesif dan mampu untuk menciptakan daya tarik di luar kelompok mereka. Fakta bhw para peserta 412 sangat banyak diropang oleh perusahaan dan juga kantor2 birokrasi Penerintah serta anggota dan simaptisan parpol, menunjukkan sempitnya daya tarik gerakan ini.
Itu sebabnya tidak ada ikon pemimpin gerakan yg berhasil dimunculkan oleh 412 dan karena itu tak bisa menjadi tandongan yg cukup serius vis a vis aksi 212. Aksi "Kita Indonesia" atau yg sejenisnya yg akan dibuat dg pola ini, tak akan mampu memunculkan seorang pemimpin non formal dan karismatik seperti Habib Rizieq Syihab (HRS). Sebab aksi tsb sangat tergantung kepada pimpinan2 parpol yg ikut serta dan hal itu sangat sulit.
Dengan demikan strategi pembendungan thd politik massa melalui model 412 ini sangat tidak efektif baik dlm jangka pendek maypun panjang. Paling2 yg akan diraih adalah lomba keramaian belaka namun tdk akan memiliki kekuatan menhentikan atau mitigasi ats politik massa. Publik akan melihat aksi 412 adalah representasi parpol dan Parlemen. Sejauh bahwa parpol2 dan Parlemen kehilangan trust dari publik dan rakyat, maka aksi mereka pun akan cenderung muspro.
Pemerintah dan masyarakat Indonesia yg berkomitmen dg sistem demokrasi konstitusional tentu harus mencermati fenomena politik massa yg tampaknya memiliki daya tarik sangat kuat akhir2 ini. Khususnya tren primordialisme dan sektarianisme yg jelas bertentangan dg fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu harus dilakukan reformasi yg menyeluruh thd parpol yg ternyata gagal menjadi tulang punggung politik elektoral kita selama ini. Jika ini tak dilakukan maka publik dan rakyat Indonesia akan lebih memilih jalan politil massa ketimbang jalan elektoral. Dan ini akan merugikan NKRI dalam jangka panjang karena stabilitas politik akan terus terganggu oleh gejolak2 yg berdampak pada aspek2 lain.
Simak tautan ini :
0 comments:
Post a Comment