“Teramat mudah untuk membenci dan susah untuk menyukai. Itulah
kenyataan yang terpampang di depan kita. Semua yang baik sulit untuk
diraih, sementara yang tidak baik mudah didapat.” (Khonghucu, filsuf
agung, guru bangsa, dan pujangga besar Tiongkok kuno, 551 – 479 SM).
Fenomena kebencian yang kini marak kita saksikan nyaris di seluruh dunia, termasuk di negeri kita sendiri, perlu kita cermati dan carikan solusinya. Sebab jika kebencian telah menjadi hal yang ‘normal’, ia bahkan bisa dilegitimasi atau diabsahkan menjadi hal yang seolah-olah bukan masalah. Kebencian kemudian menjadi semacam ideologi yang memberikan dukungan terhadap ujaran dan tindakan yang merusak. Sebaliknya, kebaikan menjadi hal yang sangat langka dan sulit dicapai dengan singkat, bahkan kemudian dilecehkan karena dianggap tidak praktis dan merepotkan.
Kebencian kian menjadi-jadi manakala kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan dirasakan oleh manusia. Karena kondisi demikian, kebencian lalu menjadi alasan dan wahana paling mudah untuk pelampiasan. Itu sebabnya, ketakutan dan kekhawatiran menjadi pasangan erat dari kebencian. Jika kita ingin mengendalikan kebencian atau memperkecilnya, maka kita juga perlu mengendalikan dan memperkecil kekhawatiran dan ketakutan. Termasuk ketakutan dan kekhawatiran terhadap liyan.
0 comments:
Post a Comment