Usul agar Presiden Jokowi (PJ) bertemu dengan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menurut hemat saya, perlu diperhatikan secara sungguh-2 dan diakomodasi oleh Istana, sebagai semacam sentuhan akhir atawa 'finishing touch' dalam mengupakan stabilisasi politik di tingkat elite yang beberapa waktu ini sempat mengalami keguncangan menyusul kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI (non-aktif), Basuki Tahaja Purnama (BTP) alias Ahok. Hal ini penting agara PJ semakin memiliki confidence bahwa beliau benar-benar telah dapat mengendalikan situasi, dan khususnya mengisolasi pihak-pihak yang berusaha memakai kasus Ahok tersebut sebagai papan loncat bagi tujuan akhir berupa pergantian rezim (regime change) melalui gerakan massa yang didasari primordilisme dan sektarianisme.
PJ dan aparat hukum serta keamanan, telah cukup efektif melakukan tindakan preventif melalui percepatan proses hukum terhadap Ahok, serta menciptakan rasa aman bagi publik melalui kinerja Kapolri dan Panglima TNI menghadapai kemungkinan terjadinya demo susulan pasca-411. Kendati mendapat kritik dari beberapa pihak, seperti kelompok GNPF-MUI dan juga LSM seperti LBH, terkait pembatasan aksi demo 212 bulan depan, tetapi publik tampaknya cenderung menanggapi positif alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kapolri yg juga didukung oleh Panglima TNI dan PJ sendiri.
Statemen Kapolri dan Panglima TNI terkait adanya agenda makar pada aksi-aksi demo susulan (25 Novemebr atau 2 Desember), juga memberikan efek politis dan psikologis, yang berdampak kepada rtencana demo tsb. Last but not least, safari "blusukan ke atas" dan juga pertembuan-2 yang dilakukan PJ dengan para elite politik, mampu mencairkan ketegangan politik dan bahkan munculnya berbagai statemen dari ormas-2 Islam besar yang menghimbau agar ummat Islam tidak mengikuti aksi demo 212.
Pemulihan stabilitas politik yg relatif cepat ini tentu akan lebih signifikan apabila PJ juga mengajak SBY di dalamnya, setidaknya untuk menunjukkan bahwa tindakan PJ adalah keinginan menciptakan inklusifisme politik menghadapi ancama bersama, yakni politik sektarian yang membahayakan kepentingan nasional bersama. Kendati SBY memiliki kepentingan politik dalam pemenangan Pilkada DKI, tetapi tak berarti bahwa beliau harus dikesankan berada dalam lingkup pengaruh atau satu kubu dengan kepentingan gerakan kaum sektarian tsb. Saya menganggap bahwa ancaman kelompok sektarian ini harus bisa diminimalisasi secara efektif di Jakarta, agar tidak menciptakan efek bola salju di daerah-2. Sebab saya yakin bahwa aksi 411 yang lalu bisa menginspirasi kelompok-2 sektarian utk melakukan konsolidasi di daerah-2. Dan hal ini bisa dicegah dengan adanya kesamaan visi dan kesatuan para elit politik menghadapi ancaman yang nyata dan hadir bagi NKRI tsb.
Pertemuan antara PJ dan SBY, dengan demikian, cukup urgen utk segera dilakukan karena akan memperkokoh "barisan nasional" vis-a-vis ancaman sektarianisme dan primordialisme yg dicoba dipakai utk tujuan regime change dan mengubah NKRI. Model regime change seperti ini telah dilakukan di berbagai negara yang hasilnya terbukti hanya mengakibatkan kehancuran tatanan masyarakat dan kehdidupan bernegara. Indonesia tak boleh menjadi Suriah kedua atau terbenam dalam konflik horizontal spt negara-2 lain. Kaum radikal dan sektarian perlu dibatasi geraknya agar Pemerintah dan rakyat Indonesia bisa melanjutkan upaya mengejar ketertinggalan dan menciptakan kemajuan. Semoga!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment