Pandangan dari mantan Menkopolhukam, Tedjo Edhie Purdijatno (TEP), bahwa rakyat sah menduduki DPR untuk memberi masukan kepada Pemerintah agar kembali ke UUD 1945 yang asli, hemat saya adalah statemen yang sulit untuk dipertanggungjawabkan secara konstitusional maupun nalar berdemokrasi. Kendatipun TEP mengatakan hal tersebut merupakan hasil dari konsultasinya dengan para mantan purnawirawan TNI, termasuk dengan mantan Wapres Jenderal TNI (Purn,) Tri Soetrisno (TS), bagi saya perlu dikritisi secara serius. Sebab jika konsisten dengan sistem demokrasi sebagai landasan ketatanegaraan Indonesia, pandangan semacam itu mengandung kelemahan yg fundamental dari aspek politik maupun hukum ketatanegaraan.
TEP pastinya tahu bahwa proses perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 yg terjadi sebanyak 4 kali sehingga berbentuk seperti sekarang, merupakan hasil dari reformasi yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan berdemokrasi konstitusional di Indonesia pasca-Orba. Melalui amandemen2 yang disahkan dalam sidang-sidang MPR maka bangsa Indonesia memiliki UUD NRI 1945, dalam bentuknya yg sekarang, secara sah dan konstitusional. Dalam sistem demokrasi, perubahan Konstitusi adalah hal yang bisa saja dilakukan. Karena itu jika ada kehendak utk melakukan amandemen ke 5, hal tersebut merupakan suatu kewajaran belaka. Demikian pula jika ada kehendak mengembalikan kepada UUD 1945 yang asli, karena hal itu adalah juga merupakan hak konstitusional rakyat Indonesia.
Masalahnya adalah proses amandemen konstitusi tentu harus mengikuti prosedur yang telah disebutkan dalam UUD NRI 1945, dan tidak bisa melakukan pemaksaan melalui people power, seperti menduduki DPR yang dilontarkan TEP itu. Secara politik, penggunaan people power hanya bisa terjadi jika negara berada dalam situasi krisis dan tidak ada kekuasaan yang legitimate. Secara hukum tatanegara, perubahan konstitusi harus melalui proses yang dilakukan di Parlemen (MPR-RI), sebagaimana diatur oleh UUD. People power atau pendudukan DPR oleh rakyat bukanlah proses legal formal yang diakui keabsahannya di dalam sebuah kondisi yang normal dan dimana kekuasaan Pemerintahan masih legitimate dan efektif.
Adalah sah-sah saja jika di dalam pikiran TEP negeri ini sudah berada dalam kondisi krisis ketatanegaraan atau krisis politik dan pemerintahan. Tetapi pikiran semacam itu masih tetap perlu diuji dan/ atau dibuktikan validitasnya. Sebab jika TEP hanya mendasarkan omongannya karena pandangan subyektif dirinya dan/ atau kepentingan dirinya dan kelompok tertentu, saya kira bukan otomatis mencerminkan kehendak publik secara umum (res publica). Lagi pula, dalam situasi dan kondisi yang normal dan demokratis, masih ada jalur-2 formal dan non formal yang terbuka bagi rakyat utk menyampaikan aspirasi mereka, termasuk masalah amandemen Konstitusi, tanpa harus menggunakan people power tsb. Bagi saya, people power yg dimaksudkan oleh TEP sangat berbau pemaksaan kehendak dari kelompok kepentingan tertentu.
Sebab saat ini saya belum pernah melihat atau membaca jajak pendapat publik yang cukup meyakinkan dan dipercayai oleh mayoritas rakyat agar kembali kepada UUD 1945 yg asli. Kalaupun ada baru aspirasi kelompok-kelompok elit seperti sebagian purnawirawan TNI yg diminta pandangannya oleh TEP. Karena itu saya kira lebih bijaksana jika TEP menggunakan posisi dan pengaruhnya secara positif, dan tidak terburu-buru melontarkan gagasan 'ngoyo woro' seperti menggalang kekuatan pepole power itu. Dan rasanya, saran TEP tak akan mendapat dukungan luas dari rakyat Indonesia yang masih mau menggunakan nalar dan nuraninya. Indonesia tidak sedang mengalami krisis konstitusional dan legitimasi Pemerintah Presiden Jokowi (legal, politik, dan moral) masih kuat, serta mampu secara efektif utk menjalankan tugasnya sampai 2019.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment