Mencermati laporan utama Majalah Tempo edisi 21-27 November 2016, saya memperoleh kesan kuat bahwa keputusan Polri menjadikan Gubernur DKI (Non-aktif), Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok, sebagai tersangka dugaan penistaan thd Al-Qur'an dan agama, lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan politik ketimbang hukum. Sumber majalah ini, yang juga diberitakan dlm tautan di bawah ini, mengatakan bahwa "kebanyakan keterangan saksi cenderung menilai tak ada penistaan agama atau pun unsur pidana." Bisa dikatakan, hanya saksi-2 ahli bidang agama yang umumnya menyebut pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu adalah penistaan agama. Sedangkan dari 6 saksi ahli hukum pidana, misalnya, 4 diantaranya menyebut pernyataan Ahok bukan penistaan. Demikian pula dari saksi ahli bahasa, dua saksi yang dihadirkan oleh Polri menyebut Ahok tidak melakukan penistaan.
Toh Polri kemudian tetap memutuskan bahwa sang petahana adalah tersangka dugaan penistaan. Pertanyaannya lalu, apa alasannya? Kapolri, Jend Pol. M. Tito Karnavian (MTK) menyebut bahwa terjadi perbedaan tajam baik di kalnagan saksi ahli maupun penyidik Bareskrim mengenai status hukum Ahok, namun akhirnya mayoritas penyidik menyetujui status tersangka ditetapkan. Namun, masih menurut MTK, "(k)arena tidak bulat, unsur obyektifnya tidak mutlak dari kalangan penyidik dan ahli. Maka dilanjutkan di sidang terbuka sehingga bisa dilihat alasan hukumnya."
Nah, dari statemen Kapolri tsb dapat dipahami bahwa penetapan Ahok sebagai tersangka yg tak bulat tsb lebih didasari pada pertimbangan politik yang merupakan jalang tengah dan "aman". Sebab dengan status tersangka tsb, pihak penolak Ahok tidak bisa lagi berargumen bahwa Polisi tidak melakukan proses hukum yang cepat, transaran, dan profesional. Tetapi bagi Ahok dan pendukungnya, status tersebut tak menghalangi Gubernur non aktif tsb utk tetap berkampanye dan berjuang secara langsung utk pemenangan Pilkada DKI 2017. Dan faktanya Polri tidak akan melakukan penahanan terhadap beliau.
Tentu saja keputusan yang lebih didasari pertimbangan politik ini bukan tidak mengundang persoalan serius. Pertama, pihak-2 penolak Ahok belum puas karena beliau belum ditahan sehingga pencalonan dan kampanyenya tak terganggu. Itu sebabnya tuntutan agar sang petahan ditahan menjadi penting dan kini menjadi alasan baru bagi gerakan aksi demo 212. Kedua, dan ini menurut Tempo, karena hukum dikalahkan oleh pertimbangan politik, maka keputusan itu "menunjukkan kemenangan pragmatisme di atas prinsip-prinsip hukum yang obyektif." Degan kata lain, bisa dikatakan bhw hukum telah "dikalahkan" oleh tuntutan politik dari para penolak Ahok melalui demo besar 411 itu.
Hemat saya perosalan kedua itu lebih mendalam dampaknya karena akan menentukan nasib demokrasi di negeri ini. Jika Polri tak mampu membuktikan dirinya mampu mengerem dan membatasi aksi demo 212, maka semakin terbukalah pendekatan-2 pragmatis selanjutnya. Disinilah pertaruhan besar bagi Kapolri dan, dengan sendirinya, juga Pemerintah Presiden Jokowi. Bisa jadi jika demo 212 memiliki daya tekan seperti demo 411, proses hukum selanjutnya juga akan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik, dan itu berarti bhw hukum tak akan menjadi Panglima!. Itu sebabnya Kapolri, Panglima TNI, dan PJ sangat gencar melakukan berbagai upaya pencegahan agar demo 212 hanya memiliki lingkup dan pengaruh politik terbatas.
Akankah upaya-2 membendung gerakan politik tsb berhasil? Dari berbagai pengamatan tampaknya pendekatan-2 komunikasi politik PJ, Kapolri,, dan Panglima TNI telah menujukkan hasil, seperti seruan-2 dari ormas-2 besar seperti NU, Muhammadiyah, bahkan tokoh-2 MUI serta berbagai tokoh ulama terkemuka agar ummat tidak lagi bergabug dalam demo 212. Hanya saja politik memang sulit utk dipastikan hasilnya, dan memerlukan kerja terus menerus serta dukungan publik yg luas, bukan saja di DKI tetapi juga seluruh Indonesia.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment