Profesionalisme, integritas, dan kewibawaan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk kesekian kalinya sedang menghadapi ujian dari para pencari keadilan. Kali ini, Polri dihadapkan pada sebuah kegaduhan politik jelang pelaksanaan Pilkada DKI, terkait tuntutan yg sangat kuat dari pihak-pihak yang menginginkan agar Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau yg akrab dipanggil Ahok, segera diperiksa oleh aparat penegak hukum tersebut.
Dalam sebuah petisi yang dibacakan oleh Habib Rizieq Shihab (RS), di tengah-tengah demo anti Ahok pada 14/10/16 di Jakarta, dinyatakan antara lain bahwa "para habaib, para ulama dan tokoh Islam dan semua tergabung bela Islam mendesak kepolisian, kejaksaan, pengadilan untuk memproses hukum Ahok terkait penistaan agama." Selanjutnya, petisi itu juga "meminta para penegak hukum untuk cepat memproses hukuman Ahok terkait penodaan agama tanpa intervensi pihak mana pun." Dan, masih menurut petisi tsb, "(j)ika negara dan pemerintah Indonesia melindungi penista agama, maka para habaib dan ulama yang tergabung bela Islam menyerukan, umat Islam akan bertindak secara bersama-sama atau sendiri-sendiri menegakan hukum Islam, yaitu hukuman mati," (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/10/14/of10jl354-ini-petisi-pendemo-ahok-terkait-penistaan-agama).
Menyimak isi petisi tsb, salah satu pihak terpenting yg dituju adalah Polri. Dan memang faktanya korps baju coklat inilah yang, sejak isu ini merebak, telah menerima surat-2 pengaduan dari pelbagai pihak yang isinya meminta agar Gub Ahok segera diperiksa dengan tuduhan penistaan Al-Qur'an dan Islam. Pada saat yg sama, pihak pro Ahok juga meminta Polri untuk bersikap profesional dan tidak memedulikan tekanan-tekanan eksternal. Ahok meminta agar Polri melaksanakan tugasnya terkait laporan-laporan yang ada, dengan tetap profesional, obyektif, dan independen.
Kita tahu bahwa bukan kali ini saja Polri menjadi tumpuan harapan bagi sebuah proses hukum yang adil dan mampu menjadi wahana bagi pulihnya ketertiban dan keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun kasus ini memiliki arti signifikan tersendiri bagi Polri, karena beberapa pertimbangan: 1) Berlangsungnya Pilkada DKI dalam waktu sekitar 4 bulan lagi; 2) Jakarta sebagai barometer stabilitas politik dan sosial di negeri ini; 3) Isu SARA yang sangat kental dalam kasus Ahok; dan 4) Last but not the least, kepemimpinan baru Polri di bawah Jenderal M. Tito Karnavian (MTK) yg sebelumnya adalah mantan Kapolda DKI.
Memang Polri mesti ekstra hati-hati merespon masalah yang sangat tinggi sensitivitasnya karena muatan politik dan SARA di dalamnya. Netralitas Polri sebagai penegak hukum menjadi modal paling utama karena ia akan sangat memengaruhi proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di Pengadilan. Komplikasinya adalah, proses hukum ini juga akan berbarengan dengan pelaksanaan Pilkada DKI yang tentu juga akan memerlukan keterlibatan intensif Polri, khususnya Polda Metro Jaya.
Bagi saya, tak mengagetkan jika Polri, termasuk Kapolri sendiri, mulai diuji dengan pemberitaan-2 insinuatif bahkan hoax di media dan medsos; atau tuntutan dengan nada yang terkesan berbau ancaman. Bahkan bukan tak mungkin akan ada aksi-2 unjuk rasa yg diarahkan khusus kepada alat negara tsb. Sampai saat ini saya yakin bhw Pak Tito dan jajarannya akan mampu bersikap profesional dan netral karena mereka telah punya jam terbang yg tinggi dan pengalaman yang banyak dalam menghadapi gejolak politik dan sosial seperti ini. Justru yg penting utk diingatkan adalah publik di Jakarta dan Indonesia umumnya, agar tidak mudah terprovokasi sehingga malah menghalangi upaya Polri mengatasi permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Publik Indonesia semestinya membantu mendinginkan suasana agar kondisi yang stabil saat ini tetap terjaga.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment