Akhir-akhir ini kata "fatwa" menjadi salah satu ikon dan sekaligus locus yang terpenting di dalam perbincangan atau wacana dan praksis dalam kehidupan sosial-politik dan hukum ketatanegaraan di Indonesia. Kata tersebut sangat penting karena ia dianggap merepresentasikan sebuah relasi antara pengetahuan (keagamaan) dan kekuasaan (politik) serta instrumen di mana subyek-subyek tertentu dibentuk, diposisikan, dan sekaligus menjadi obyek dalam proses politik.
Fatwa, pendek kata, lantas menjadi semacam "mantera" sakti yang merupakan monopoli suatu kelompok elit tertentu yang mengklaim dan mengatasnamakan diri sebagai penafsir tunggal tentang "kebenaran" yang posisinya tak bisa diganggu gugat. Pemilik fatwa adalah produsen sekaligus pengedar legitimasi moral yang nyaris total karena ia memiliki atribut-atribut kesucian, kegaiban, dan, secara implisit, kekuatan supernatural. Maka sang pemilik fatwa seakan-akan menjadi imun terhadap kritik dan argumentasi dan ia pun tak perlu lagi untuk memerhatikan seperti logika, kontekstualitas, subyektifitas, dan bahkan aturan hukum yang berlaku. Pemilik fatwa hanya berpikir biner: "percaya" atau "ingkar", "patuh" atau "melawan", "benar" atau "salah"; dan tentu saja "halal" atau "haram."
Tak heran kalau kemudian "fatwa" menjadi komoditas paling penting dalam lingkaran pertukaran ekonomi kekuasaan (economy of power). Dan karena fatwa menjadi sebuah komoditi yg sangat langka dan laku, maka banyak pihak yang mencoba memproduksi "fatwa-fatwa" yg disesuaikan oleh permintaan 'pasar', dalam rangka mensupply keperluan legitimasi moral, politik, hukum, atau sekedar prestise dan citra. Pertarungan produk-produk fatwa pun tak bisa dihindarkan, dan karenanya iklan fatwa mana yg paling populer pun harus dibuat.
Para elite politik, tak pelak lagi, adalah salah satu konsumen fatwa yang paling lahap untuk melegitimasi diri dalam perebutan kuasa-kuasa dan merebut simpati serta dukungan publik, yang, juga telah begitu tersihir oleh produk yg bernama fatwa-fatwa tsb. Konsekuensinya, para elite politik itupun menjadi mudah lupa atau pura-pura lupa bahwa mereka bekerja bukan melalui legitimasi fatwa, tetapi Konstitusi, dan aturan main yang memiliki kekuatan hukum positif di negeri ini. Tak jarang jika fatwa dihadapkan dengan konstitusi dan aturan resmi, maka pihak yg disebut terakhir itu menempati posisi marginal dalam wacana dan praksis politik dan hukum ketatanegaraan.
Walhasil, negeri ini akan bergeser dari sebuah negeri yang menggunakan landasan konstitusi dan hukum positif menuju ke arah "negara fatwa". Implikasinya adalah lembaga-lembaga negara pun akan lebih tunduk pada fatwa-fatwa ketimbang aturan main (termasuk konstitusi) yg menjadi landasan mereka. Dan karena pemilik fatwa-fatwa tersebut sangat ekskluisf, bukan pilihan warganegara, maka sistem negara yg demokratis pun bisa bergeser menjadi totaliter dan tirani.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment