Setelah Kapolri, Jenderal M. Tito Karnavian (MTK), kini disusul oleh Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo (GN), memberikan statemen yang sama tegasnya dialamatkan kepada pihak-pihak yang menggunakan issu SARA jelang Pilkada di DKI, khususnya demo 4 November yad. Kedua petinggi alat negara tsb menyatakan bahwa demo adalah hak tetapi tidak untuk menyebarluaskan kebencian dan politik berdasarkan SARA. Keduanya menyerukan agar semua pihak mengikuti proses hukum dan tidak memaksakan kehendak.
Presiden Jokowi (PJ) juga telah menyatakan dengan terang-terangan bahwa, "Demonstrasi adalah hak demokratis warga, tapi bukan hak memaksakan kehendak dan bukan hak untuk merusak," dalam kesempatan menghadiri Hari Menabung Nasional, hari ini, Senin 31/11/16. Beliau bahkan menegaskan bahwa dirinya telah minta agar "Aparat keamanan ... bersiaga dan melakukan tugas secara profesional jika ada tindakan anarkis oleh siapa pun." (http://news.detik.com/berita/d-3333191/soal-aksi-4-november-jokowi-demo-itu-hak-tapi-jangan-paksakan-kehendak)
Jika digabung menjadi satu, ketiga pernyataan tersebut alamatnya jelas, yaitu pihak yang akan berdemo pad 4 November. Pesan ketiganya jelas, yaitu jangan menggunakan SARA untuk alat politik. Kalau dilanggar, resikonya jelas juga, yaitu berhadapan dengan alat negara, baik Polri maupun TNI.
Inilah sikap proporsional dan tegas yang diambil oleh negara yang menggunakan Konstitusi UUD NRI 1945, yaitu melindungi hak warganegara utk menggunakan hak-hak politiknya, dengan mengikuti aturan hukum. Kongkritnya, jika ada kelompok yang mengumbar seruan berwarna SARA, menyuruh massa nginap di depan Istana, memaksa Polri menangkap Ahok tanpa alasan yg legal, memaksa PJ mundur, dsb, hal itu sudah berada di luar bingkai aturan main. Kalau mereka ngeyel, Polri dan TNI wajib hukumnya melakukan tindakan penegakan hukum.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment