Kompetisi merebut posisi orang nomor
satu dan dua di Ibukota Jakarta, naga-naganya
hanya merupakan sebuah pagelaran politik yang anti klimaks atau “ramai tapi
gersang." Prediksi muram ini berdasarkan atas asumsi bahwa parpol-parpol yang bukan pendukung
petahana, yg popular dengan nama ‘Koalisi Kekeluargaan’ (KK), gagal untuk menampilkan
pasangan calon (paslon) yang memiliki kekuatan seimbang dan/ atau alternatif
yang mampu mengalahkan paslon petahana, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama-Djarot
Syaiful Hidayat (BTP-DSH). Variabel paslon ini sangat penting, sebab dalam
Pilkada langsung di seluruh Indonesia, penentu utama kemenangan terletak pada
sosok paslon, dan bukan pada jumlah parpol yang mendukung.
Seperti kita ketahui KK, dengan dua
kubu di dalamnya, telah mengumumkan dua paslon.
Kubu KK Cikeas, yang terdiri atas PD, PKB, PPP, dan PAN, menetapkan
pasangan Agus Harimurti (AH) dengan Sylviana Murni (SM). Sedangkan kubu KK
Kertanegara, yang terdiri atas Gerindra dan PKS, menetapkan pasangan Anies
Baswedan (AB) dengan Sandiaga Uno (SU). Walhasil, jika semua paslon ini mulus
dalam tahap pendaftaran di KPUD, maka Pilkada DKI akan memiliki tiga pasangan
kontestan: 1) BTP-DSH (petahana); 2) AH-SM; dan 3) AB-SU.
Tanpa berpretensi mendahului takdir,
untuk sementara saya menduga bahwa dengan dua paslon KK itu, Pikada DKI 2017 akan
sulit diharapkan berlangsung kompetitif, alot, dan menghadirkan pilihan menarik
bagi pemilih. Sebaliknya, perhelatan demokrasi
lima tahunan itu walaupun mungkin akan berlangsung dg riuh dan ramai, tetapi tetap
gersang secara substansi karena probabilitas terjadinya perubahan cukup kecil.
Alasan saya sederhana saja, yaitu tidak adanya kesetaraan (level playing field) antara BTP-DSH dengan kedua paslon lawan dalam
hal popularitas, elektabilitas, dan kapasitas, serta lingkungan strategis (lingstra) Jakarta yang saat ini dihadapi
para penantang sang petahana.
Berdasarkan hasil berbagai survei yg
pernah dilakukan sampai hari ini (24/9/16), figur-figur paslon penantang
petahana itu tidak satupun yang mampu merendenginya dalam hal popularitas maupun
elektabilitas. Orang bisa berdebat bhw hasil survei-2 yang akan datang bisa
saja berubah, tetapi itu soal lain dan masih harus dibuktikan. Dari aspek
kapasitas, barangkali hanya SM saja yang pernah berpengalaman langsung
menangani masalah kongkrit di DKI, sehingga kapasitas beliau cukup tinggi.
Tetapi faktanya SM ‘cuma’ diposisikan sebagai cawagub oleh KK Cikeas. Selain SM,
hemat saya, semua sosok calon dari KK tidak memiliki kapasitas itu.
Kelemahan tersebut akan berdampak
terhadap strategi pemenangan mereka. Dalam rangka melemahkan kredibilitas sang petahana,
baik paslon AH-SM maupun AB-SU akan lebih tergantung pada strategi cipta opini
dan pencitraan negative terhadap lawan, bukan pada kekuatan platform politik dan/atau
capaian mereka. Dengan kata lain, kampanye mereka akan mendaur ulang isu-isu yg selama ini sudah sering dimunculkan
oleh para penolak kembalinya Ahok sebagai DKI-1. Misalnya isu-isu Ahok adalah Gubernur
pro-pengembang, tidak pro-rakyat, lamban dlm menyelesaikan banjir dan kemacetan
lalu lintas, tingginya pengangguran, penggusuran
kawasan yg dihuni rakyat mikin, dan sejenisnya.
Tentu saja masih terbuka kemungkinan
penggunaan kampanye hitam yg bernuansa SARA, kendati semua parpol dan paslonnya
akan menolak dikaitkan dengan hal itu. Pertanyaan utamanya adalah apakah
strategi kampanye negatif dan pencitraan itu efektif untk membalik simpati para
pemilih potensial di Jakarta dari BTP-DSH? Saya masih meragukannya. Sebab berdasarkan
hasil jajak pendapat yang sudah dilakukan sampai saat ini, berbagai upaya
melemahkan popularitas dan elektabilitas Ahok dengan memakai strategi itu tak
terlalu signifikan pengaruhnya.
Selain itu, kondisi lingstra Jakarta
saat ini berbeda dg saat Pilkada 2012 berlangsung. Ketika itu, petahana Gub. Fauzi
Bowo atau Foke, berhasil dikalahkan oleh penantangnya, Jokowi-Ahok, sebab
rakyat Jakarta mengalami sebuah impasse
politik. Rakyat mengharapkan adanya perubahan fundamental, bukan business as usual, dalam tatakelola
Pemerintahan DKI. Dan Jokowi-Ahok tampil sebagaimana yg dikehendaki pemilih. Mereka mewakili
energi muda yang menggebu, semangat baru, dan pendekatan tatakelola baru. Itu
semua ditopang oleh rekam jejak keberhasilan di daerah yg mendapat pengakuan
nasional dan internasional.
Dalam Pilkada 2017 saat ini, para paslon
penantang berada dalam lingstra yang berbeda sama sekali. Tambahan pula mereka juga belum memiliki
bukti-2 capaian kongkrit sebagai pejabat eksekutif. Akan sangat menarik jika
nanti digelar debat publik mengenai platform dan capaian kerja seperti BTP-DSH.
Prediksi sementara saya, lawan-lawan
BTP-DSH akan “keteter” jika berdebat mengenai ihwal yang substantif terkait manajemen
Pemerintahan DKI dan berbagai solusi kongkrit dalam menjawab berbagai tantangan
penting di ibukota.
Saya pernah mengatakan bhw jika
Pilkada 2017 diikuti oleh para penantang petahana yang tak memiliki kualitas
'pengubah permainan' atau 'game changer',
maka event ini hanyalah sebuah peneguhan kembalinya BTP-DSH sebagai Gubernur
dan Wagub DKI. Bisa saja hajatan tsb berlangsung sampai dua putaran, bising,
dan bahkan gaduh, tetapi hasil akhir (end
game) nya sudah bisa diketahui. Alih-alih menjadi ajang kontestasi politik
yang bermutu, Pilkada 2017 DKI malah kian meneguhkan dugaan bahwa parpol penantang
sang petahana dan para elitnya lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya
ketimbang kepentingan rakyat dan bangsa. Karena mereka gagal menghadirkan
calon-2 pemimpin yang bermutu, berintegritas, dan unggulan.
0 comments:
Post a Comment