Kabar menyedihkan dari Kota Solo terkait pembubaran ibadah Misa Arwah yg diselenggarakan oleh ummat Katolik di Penumping, semakin memperkuat dugaan bahwa ancaman kekerasan dan radikalisme di Indonesia todak bisa diabaikan atau dianggap sepi. Menurut survei terakhir dari The Wahid Institue (WI) pada 2016, 72% responden dari ummat Islam yang dijadikan sampel, menolak keras radikalisme. Kendati hal tersebut bisa disebut menggembirakan, namun tetap ada hal yang perlu diwaspadai dari temuan jajak pendapat ini. Yaitu bahwa jajak pendapat yg sama juga menunjukkan bahwa 0,4 persen responden mengaku pernah ikut kegiatan radikal dan 7,7 persen berpotensi dan siap melakukan radikalisme. Menurut Yenni Wahid (YW), Direktur WI, ini berarti ada sekitar 500 ribu orang pernah mterlibat dalam aksi kekerasan dan radikalisme, serta 11 juta orang di dalam ummat Islam yang berpotensi melakukan radikalisme! (https://m.tempo.co/read/news/2016/08/01/078792350/wahid-foundation-mayoritas-muslim-menolak-aksi-radikal).
Berkaca dari hasil jajak pendapat WI tersebut, kasus-kasus kekerasan berlatar agama yang terjadi berturut-turut di beberapa daerah di Indonesia akhir-akhir ini merupakan bukti-bukti empiris memperkuatnya. Kasus pembubaran ibadah Misa Arwah di Solo, misalnya, mengingatkan kita pada kasus pembubaran ibadah Doa Rosario di Sleman, Yogyakarta pada 2014 yg saat itu diselenggarakan oleh ummat Katolik di rumah tinggalnya. Kedua kasus tindak pembubaran ibadah tsb jelas sangat berkaitan dengan maraknya pemahaman keagamaan yg bermuatan radikal dan menolak keberagaman dalam sebuah masyarakat majemuk di negeri ini. Jika aksi-aksi radikal seperti ini dibiarkan dan hanya dianggap sebagai 'salah paham' biasa, maka akan beresiko menjadi lebih sering terjadi dan melebar jangkauannya.
Aksi-aksi kekerasan berkedok agama seperti di Solo itu akan menghasilkan para peniru (copy cats) yg cepat karena merasa tidak ada konsekuensi sanksi yg serius dan, sebaliknya, malah mendapat ekspose pemberitaan yg luas di media dan medsos sehingga mengankat popularitas mereka. Secara politik, kasus seperti ini karena dilakukan di lokasi-lokasi yang memiliki makna strategis di negeri ini, tentu juga akan mendapat perhatian dari media dan masyarakat internasional. Para aktor intelektual dari aksi kekerasan tsb memiliki kapasitas dan kecanggihan yg cukup tinggi dalam merencanakan dan melakukan kegiatan, disamping mobilitas yg tinggi.
Dari hasil survei WI dan bukti-bukti terjadinya aksi-aksi kekerasan berkedok agama tsb, nyata bahwa ancaman yg datang dari radikalisme di negeri ini tidak bisa disepelekan baik saat ini maupun di masa depan. Setelah Yogya, Medan, Solo dan Jakarta, kota-kota lain yg bernilai strategis pun akan menjadi sasara kelompok tsb. Pertanyaannya lalu, bagaimana sikap Pemerintah dan para pemimpin masyarakat, khsususnya di kalangan agamawan, jika kajian ilmiah dan fakta lapangan sudah memberikan petunjuk yg begitu terang benderang seperti itu? Wallahua'lam!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment