Banyak pihak yg menganggap munculnya Agus Harimurti (AH) sebagai bacalon dari Koalisi Kekeluargaan (KK) kubu Cikeas adalah kejutan dlm Pilkada DKI 2017. Tetapi buat saya pribadi yg menjadi kejutan adalah terlemparnya Prof. Yusril Ihza Mahnedra (YIM), sebagai bacalon KK, kendati pakar ilmu tatanegara dan mantan Menteri tiga kali tersebut merupakan sosok yang sudah tak diragukan lagi kapasitas, elektabilitas, maupun popularitasnya. Mengapa hal ini bisa terjadi dalam perpolitikan Indonesia? Jawabannya bisa bervariasi, tetapi saya ingin menggunakan pandangan YIM sendiri sebagai titik tolak karena saya secara prinsipil memiliki pandangan yg mirip.
YIM mengatakan alasan terlemparnya beliau dari bursa calongub adalah "egoisme dan kepentingan perseorangan yang mengedepan dibanding perjuangan bersama." Dalam beberapa posting di TL ini saya yg menyatakan bahwa dalam proses pencalonan ini kepentingan parpol dan elite parpol lebih diutamakan ketimbang kepentingan yang lebih besar yaitu rakyat DKI dan Indonesia. Karena itulah walaupun publik sudah memberikan saran dan dukungan agar sosok seperti YIM dan Rizal Ramli (RR) diusung sebagai penantang sang petahana, pada akhirnya yg dipilih parpol-2 tsb adalah orang-2 yang sesuai dg selera pribadi elit, termasuk keluarga sendiri! Parpol-2 tsb sudah sangat tahu bahwa calon mereka tidak akan mampu mengimbangi kedigdayaan sang petahana, tetapi tak akan peduli karena kekhawatiran bahwa mereka akan kehilangan kontrol dan tak akan diuntungkan secara pribadi dan kelompok.
Maka jalan nepotisme pun menjadi jalan paling mudah dan aman ketimbang jalan meritokrasi. Padahal nalar yg waras akan mengatakan bahwa tanpa pengalaman yg cukup dan dukungan publik yg kuat tidak mungkin orang akan berhasil menjadi alternatif pemimpin yg baik. Dan publik Jakarta saya kira cukup nalar dan cerdas utk memahami calon-2 yg diusung parpol-2 lawan petahan tsb. Namun kekerdilan pribadi mereka mengalahkan pertimbangan nalar tersebut dan menganggap sepi aspirasi rakyat. Bisa jadi dalam pikiran elite parpol tsb lebih baik kalah tetapi tetap memegang hegemoni partai ketimbang meriskir mendapatkan pemimpin yang aspiratif dan bermutu tetapi nanti tdk bisa mereka kendalikan!
Keterkejutan saya bukan karena gagalnya YIM sbg calon per se, tetapi terutama karena rendahnya kualitas para pemimpin parpol itu. Mereka ini seharusnya sudah mampu melewati godaan ambisi karena beberapa pernah dan sedang berkuasa serta menduduki jabatan-2 tinggi di negeri ini. Nalar dan nurani yg sehat akan menyatakan bahwa mereka akan lebih mendahulukan kepentingan rakyat DKI, bangsa dan Negara RI dalam momentum kritikal seperti Pilkada ini. Oleh sebab itu, dg terjadinya peristiwa ini saya menilai secara firm bahwa para elite "egoistik" tersebut kualitasnya hanyalah politisi biasa, bukan para negarawan. Lingkup pikiran dan visi mereka hanya sebatas lima tahunan, bukan masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Tetapi para pemimpin parpol tsb akan sangat keliru jika merka menganggap rakyat Indonesia bisa dikadali dengan segala retorika politik dan manipulasi citra terkait pencalonan tsb. Cepat atau lambat, rakyat DKI, dan Indonesia umumnya, akan menunjukkan bahwa parpol tsb tidak dikehendaki dan jika perlu ditinggalkan saja. Saat inipun tingkat kepercayaan (trust) rakyat kepada parpol dan DPR/DPRD (yg notabene isinya adalah politisi parpol) sudah beradapada level yg sangat rendah. Apalagi jika elite parpol tsb tetap "mbidheg", semau gue, dan cuek terhadap aspirasi rakyat! Na'udzubillah min dzalik!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment