Wacana pengangkatan kembali mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar (AT), hari2 ini sedang ngetren dan, tentu saja, kontroversial serta sarat pro dan kontra. Pihak yg pro umumnya memakai dalih legal formal dan perspektif pragmatisme utilitarian. Pihak yg kontra lebih menekankan aspek etika dan perspektif politik, utamanya implikasinya thd kepemimpinan Presiden Jokowi dan efektifitas kinerja kabinet.
Saya termasuk yang tdk setuju dg pengangkatan ulang AT dengan alasan etik dan politik. Secara etik, mengangkat kembali AT yg sudah jelas pernah melanggar aturan terkait kewarganegaraan secara tidak jujur, akan berimbas pd moral standing PJ sebagai pemimpin yg selama ini dikenal memiliki komitmen tinggi thd keterbukaan, kejujuran, dan kesederhanaan itu. Reaksi yg deras menentang wacana pengangkatan ulang di ranah publik merupakan salah satu indikasinya.
Pihak2 yg memakai alasan legal formal hanya bertumpu pada prerogatif Presiden. Merela lupa atau pura2 lupa bhw hak prerogatif sama sekali tdk absolut alias tdk bisa dipakai semaunya. Mengangkat AT yg bukan WNI adlah pelanggaran UU, dan ketika ybs diberhentikan artinya Pemerintah mengoreksi kesalahan tsb. Ketika Pemerintah mau cepat2 memulihkan kewarganegraan AT dan kemudian bermaksud mengangkat kembali sbg Menteri, maka Pemerintah terkesan tdk menganggap serius masalah kewarganegaraan yg sejatinya merupakan komponen utama keberadaan negara itu.
Dari sisi politik, implikasi yg bisa muncul adalah degradasi legitimasi moral thd Pemerintah PJ yg akan menambah bebab beliau yg kini sudah cukup besar. Belum lagi jika diperhitungkan bhw lawan2 politik beliau akan memanfaatkan kasus pengangkatan kembali AT utk mendelegitimasi kepemimoinan PJ. Bisa saat ini para politisi mengatakan tidak ada masalah jika AT diangkat lagi, tapi tak ada jaminan bhw mereka akan 'balik kucing' ketika simpati publik berbalik.
Selain itu jika PJ benar2 mengangkat kembali AT secara terburu2, akan kuat kesan bahwa beliau tdk memiliki independensi karena hanya mengikuti kemauan para sponsor yg punya kepentingan2 tertentu. Last but not least, bagi AT sendiri ketika seandainya kembali jadi Menteri pun akan menghadapi berbagai resistansi yg kuat karena lemahnya moral standing pihak yg mengangkatnya.
Walhasil, dr perspektif politik manfaat pengangkatan kembali AT sbg Menteri tidak banyak. Justru mudaratnya yg mungkin lebih banyak. PJ lebih baik menggunakan prinsip 'meninggalkan keeusakan yg sudah jelas lebih baik ketimbang memburu manfaat yg belum jelas' dalam urusan ini. Dan saya yakin masih banyak putri dan putra Indonesia yg punya kualifikasi dan kemampuan yg sama atau lebih baik dari AT. Itu pandangan saya, tetapi keputusan terakhir memang terpulang juga kepada PJ.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment