Dalam tradisi di dunia olahraga Amerika, ada sebuah ungkapan begini: "Winning isn't everything, it's the only thing." (Kemenangan bukan segalanya, tetapi satu-satunya (yg terpenting)." Ungkapan lucu, sarkastik, dan nakal, tetapi punya makna itu, pertama kali diucapkan oleh pelatih tim football (sepakbola ala Amrik) dari Universitas California di LA (UCLA), Henry Russell ("Red") Sanders (1905-1958). Ternyata sampai hari ini kalimat bersayap itu masih sangat populer di Negeri Paman Sam tsb. dan selalu diulang-ulang utk memompa semangat juang tim-tim olah raga
Saya menggunakan ungkapan tsb untuk menggambarkan psikologi politik PDIP dan Ketum DPPnya, Megawati Sukarnoputri (MS), menghadapi hajatan politik terpenting di DKI Jakarta: Pilkada 2017. Bagi partai berkuasa di perpolitikan Indonesia ini, kemenangan dlm pilkada DKI begitu pentingnya, sehingga ia boleh jadi tak bisa direndengkan dengan berbagai pilkada di wilayah lain di seantero negeri ini. Kemenangan bagi PDIP dan bagi MS adalah "satu-satunya yang terpenting" (the only thing) dalam konstelasi politik dan legacy beliau. Karena itu, segala wacana dan retorika mengenai pilkada DKI, pada akhirnya, harus diukur dan dihitung hanya dengan satu target, kemenangan calon yg didukung PDIP. Retorika 'kemenangan bukan segala-galanya," tidak berlaku di sini.
Kita tahu belaka bahwa dlm dinamika proses Pilkada DKI saat ini, kemenangan nyaris hanya ditentukan oleh satu faktor saja, yaitu siapa sosok yang memiliki popularitas dan elektabilitas paling tinggi. Jawabannya, sayangnya, sampai hari ini juga belum berubah: Gub petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. PDIP tahu itu, MS juga demikian. Dengan hitung-2an politik yang paling pesimis pun Ahok masih tetap lebih unggul ketimbang semua nama yang kini disodorkan baik oleh partai maupun non-partai. Pencalonan Ahok hanya bisa diganjal apabila ketiga parpol, atau salah satu dari mereka, yg sudah menyatakan dukungan thd beliau membatalkan dukungannya. Dan hal ini saya kira adalah skenario yang paling kecil probabilitasnya, untuk tidak mengatakan sama sekali tak mungkin terjadi.
Menariknya, PDIP dan MS seperti akan mengulang suatu peristiwa politik yang sama sebelumnya atau yg disebut "political deja vu". Yaitu ketika PDIP dan MS tak ada pilihan lain kecuali mencalonkan Jokowi Presiden RI, kendati beliau baru setahun jadi Gubernur DKI. Nuansa politik dan alternatif yg tersedia pada saat itu nyaris sama dengan yg dlm pencalonan Ahok. Kesamaan itu antara lain; 1) Keduanya (Jokowi dan Ahok) itu merupakan calon yang punya tingkat popularitas dan elektabilitas paling tinggi; 2) Internal PDIP nyaris terbelah antar yg pro dan kontra thd keduanya, sehingga hanya MS saja yg bisa memberi kata putus; 3) Kegagalan memilih keduanya merupakan sebuah kerugian strategis bagi PDIP, sehingga tidak ada alternatif jika partai tsb ingin menang; 4) Fakta bahwa calon-2 dari internal PDIP sendiri tidak ada, atau terlalu lemah, jika akan dipertandingkan dengan kedua beliau tsb. Dalam hal Pilkada DKI, satu-2nya kader PDIP yang mampu mengimbangi Ahok, dlm hal popularitas dan elektabilitas, hanya Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (TR).
Itu sebabnya bisa dipahami mengapa proses menuju keputusan resmi utk mendukung pencalonan Ahok dari PDIP sangat alot dan panas. MS, saya kira, memberikan waktu untuk para elit DPP dan DPD PDIP DKI yg menentang Ahok untuk menemukan calon yg mampu memenangi Pilkada, bukan hanya yg mampu mengimbangi Bupati Belitung Timur tsb. Sayangnya, para penolak (naysayers) tsb, naga-naganya, tak satupun mampu memberikan jaminan "pasti menang" kepada Sang Ketum, apalagi setelah TR keukeuh menolak utk jadi calon. Dan, pertemuan MS-Ahok yg terakhir kemarin (17/8/16), dengan hasil 'dukungan pribadi' pihak yg pertama kepada yang kedua itu, bisa ditafsirkan sebagai semacam peringatan terakhir (final warning) dari MS kepada para 'naysayers' termasuk, dan terutama, kepada Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristianto (HK), yg sejak awal adalah pihak yg paling 'mbulet' terkait dukungan thd Ahok.
Oleh sebab itu Ahok lantas sumringah dan merasa cukup serta mantap dg hasil 'dukungan pribadi' dari puteri Bung Karno itu. Dan langkah beliau berikutnya adalah tinggal membuat manuver-2 yg diarahkan kepada HK dkk agar mereka segera menyelesaikan "pekerjaan rumah' berupa dukungan resmi partai kpdnya!. Jika skenario ini benar, HK dkk pada akhirnya tidak akan bisa berbuat apa-apa apabila mereka tetap gagal untuk memberi jaminan "pasti menang" kepada Sang Ketum tanpa mendukung pencalonan Ahok!
Walhasil, kalau ternyata statemen Ahok benar dan PDIP nanti resmi mendukung pasangan Ahok-Djarot, maka hal ini adalah ' a deja vu all over again' utk PDIP dan MS. Tetapi soalnya bukan "deja vu" atau tidak. Soalnya adalah: Kemenangan dlm Pilkada DKI 2017 adalah satu-satunya yg terpenting" bagi PDIP dan khususnya bagi legacy MS dalam perpolitikan Indonesia di masa depan.
#pencalonanahok; #pilkadadki2017; #pdipdki; #megawatisukarnoputri; #dejavupolitik
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment