Seharusnya ketika kita melihat greget dari anak-anak muda untuk membangun bangsanya melalui perpustakaan, kita mesti membantu dan melindunginya. Bukan malah sebaliknya, mencurigai kegiatan mereka seperti layaknya gang motor, dan kemudian melakukan kekerasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Bagi saya, pihak-pihak manapun yang melakukan kedua hal tersebut adalah sama saja sedang menyebarkan kebodohan atau setidaknya membiarkan kebodohan berkembang.
Perpustakaan Jalanan Bandung (PJB), adalah salah satu kerja kreatif anak-anak muda yang peduli dan merasa terpanggil untuk ikut memerangi kebodohan yang ada dalam masyarakat. Dalam dirinya sendiri, kegiatan yang sudah 6 tahun bergulir tsb adalah sebuah perbuatan mulia dan karenanya perlu didukung dan dilindungi. Kalaupun ada pihak yang mempersoalkan keberadaannya, termasuk Pemda, Polri, atau bahkan Kodam Siliwangi, semestinya mereka tahu apa yang mesti dilakukan: mengajak aktivis PBJ bicara, berdialog, meminta mereka bertanggungjawab jika ada komplain, dan kalau perlu membawa mereka ke pengadilan jika memang ada dugaan bhw PJB melakukan perlanggaran hukum. Bukan dengan melakukan penggrebegan dengan berbagai alasan yang ekonomis dalam penalaran dan kejujuran.
Kabar yg beredar di media seputar penertiban thd kegiatan PJB oleh pasukan TNI dari Kodam Siliwangi (20/8/2016), perlu kita cermati. Jika benar bahwa oknum-2 TNI tersebut melakukan tindak kekerasan, saya kira memang perlu diusut dan dibawa ke ranah hukum. Namun tindakan penertiban yang menjadikan sasaran PJB tersebut, hemat saya adalah sebuah kebodohan. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Desi Arianto (DA), Kepala Penerangan Kodam III Siliwangi, sangat tidak nalar. DA mengatakan, misalnya, bahwa "aktivitas yang mereka lakukan dapat menjurus kepada aktivitas negatif dan meresahkan". Pertanyaan saya, apakah perpustakaan yang sudah berlangsung bertahun-2 bisa bertahan jika ia memang menjurus pada aktivitas negatif dan merresahkan masyarakat?
Alasan DA yang lain, yaitu "mengapa kegiatan membaca buku – buku tersebut harus dilaksanakan dengan berkumpul di suatu tempat pada malam hari?" juga merupakan alasan sontoloyo dan tidak bermutu. PJB dibuat seperti itu justru karena memberikan kesempatan kepada masyarakat yang hanya punya waktu utk membaca buku-2 secara gratis pada saat senggang di malam hari dan itupun hanya satu hari dalam seminggu (https://www.facebook.com/perpustakaanjalanan/?fref=nf). Pemilihan Taman Cikapayang juga punya dasar yang masuk akal. Misalnya, dalam situs fb PJB dikatakan "Selain menjadi melting pot bagi banyak kalangan yang singgah atau sekadar melintas di Bandung, taman (Cikapayang) ini juga memiliki penerangan paling baik dibandingkan dengan taman-taman yang lain. Taman ini adalah representasi kota, dimana semua berada disana. Pedagang kaki lima, pejalan kaki yang melepas lelah, pemuda yang berolah raga ringan, klub motor yang berbagi pengalaman, dan lain sebagainya." Walhasil, menurut PJB, Taman ini adalah "(s)ebuah cerminan nyata atas kota yang tangguh mendapuk diri sebagai kota kreatif." Inilah yang gagal dipahami oleh DA yang, jangan-jangan, malah tidak paham mengenai masyarakat dan kondisi kota Bandung!
Alasan yg paling menggelikan sekaligus menunjukkan ketidak pahaman DA adalah ini: kredibilitas buku-buku yang dimiliki PJB. Dia mempertanyakan "kredibilitas dari buku-buku yang dibawa perpustakaan jalanan. Apakah sudah terlebih dahulu diketahui kredibilitasnya, apakah benar buku – buku tersebut adalah buku – buku yang diijinkan untuk dibaca oleh kaum muda, atau malah buku – buku yang di dalamnya berisi topik yang tidak sesuai." Jika DA tidak yakin dg kredibilitas buku-2 PJb, dia bisa melapor ke Polri atau Kejaksaan, bukan? Lagi pula statemen ini seakan-2 juga meremahkan nalar publik di Kota Bandung, sebab jika memang kredibilitas buku2 PJB diragukan, sudah pasti akan ada yang protes atau setidaknya lapor selama bertahun-2 kegiatan itu diadakan. Nah, berapa kali protes thd PJB terjadi, dan berapa banyak buku2 PJB dilaporkan dan dirampas oleh Polisi dan Kejaksaan di Kota tsb?
Walhasil, alasan-alasan yang digunakan utk memberangus kegiatan PJB oleh Kodam Siliwangi sama sekali tak bisa dipertahankan oleh nalar sehat dan juga kepantasan dalam sebuah masyarakat yang terbuka dan sistem demokrasi. Saya kira petinggi TNI harus mengambil tindakan tegas kepada siapapun yang bertanggungjawab di lingkungan Kodam Siliwangi terkait dengan tindakan seperti ini. Jangan sampai hal ini menjadi alat kampanye negatif thd TNI yang sejatinya telah melakukan reformasi internal pasca-reformasi dengan sangat baik itu.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment