Rame-rame melaporkan Haris Azhar (HA), Ketua LSM Kontras, kepada Polri karena tulisannya terkait dengan cerita gembong narkoba yang telah dijatuhi hukuman mati, Freddy Budiman (FB), hemat saya lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya, baik bagi penegakan hukum, maupun upaya pemberantasan narkoba, apalagi untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut media, HA mendapatkan kesaksian dari FB pada 2014 terkait adanya keterlibatan para oknum pejabat BNN, Polri, TNI, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya. HA kemudian menuangkan kesaksian tsb dalam tulisan yg diterbitkan pasca eksekusi mati gembong narkoba tsb dan, sudah bisa ditebak, menciptakan kegaduhan dan kontroversi. Pihak BNN, Polri, dan TNI
pun beraksi cepat yakni melaporkan HA dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik lembaga-lembaga tsb. Selain pencemaran nama baik, pelaporan atas HA juga didasari kekhawatiran bahwa tudingan tsb juga bisa berpengaruh buruk terhadap anggota-anggota lembaga-lembaga tersebut. Kapolri, Jenderal M. Tito Karnavian (MTK), misalnya, khawatir bahwa tulisan HA bisa membuat moral Polisi turun (http://nasional.kompas.com/read/2016/08/03/18195391/kapolri.anggap.cerita.haris.azhar.bisa.buat.moral.polisi.turun?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd).
Dilihat dari kepentingan-kepentingan kelembagaan, memang alasan mempolisikan HA masuk akal dan sah-sah saja. Tetapi dari perspektif yang lebih luas, khususnya upaya pemberantasan narkoba dan relasi antara lembaga-lembaga tsb dengan masyarakat, saya kira perlu dipikirkan ulang. HA saya yakin tidak memiliki niat buruk dalam arti mau menjelek-jelekkan institusi-2 strategis tsb, tetapi mencoba memberikan pandangan dari sisi yang selama ini hanya menjadi 'rahasia umum', yakni kong-kalikong antara para penjahat narkoba (atau kriminalitas lain) dengan oknum-oknum pejabat di negeri ini. HA tentu telah memikirkan secara mendalam dan punya argumentasi yang kuat sebelum mengungkap kesaksian FB. Sebagai aktivis pembela HAM yang memiliki reputasi dan kredibilitas yang tinggi, rasanya hil yang mustahal jika HA melakukan hal itu untuk mencari sensasi atau menciptakan kegaduhan publik. Apalagi melakukan fitnah (slanders) dan pelecehan (libel) terhadap lembaga-lembaga terhormat tsb.
Maka itu saya menyetujui himbauan Presiden Jokowi (PJ) melalui jubir Istana, Johan Budi (JB) agar masalah tertimoni FB yang dituliskan oleh HA itu disikapi secara proporsional, yakni sebagai masukan untuk koreksi bagi aparat untuk bebenah (lihat tautan di bawah). Ini tidak berarti mendukung cara HA atau pihak-2 lain yang menggunakan cara yg sama dalam menyampaikan pandangan seperti itu. Pihak-pihak yg berkeberatan (TNI, Polri, BNN) bisa saja meminta HA memberikan klarifikasi dan membantu proses penyelidikan lebih lanjut terhadap substansi kesaksian FB. Dengan cara demikian tak perlu ada kekhawatiran terjadinya pencemaran nama baik, di samping itu publik juga dapat menimbang sendiri sejauhmana validitas kesaksian yang ditulis HA.
Pendekatan melalui ranah hukum memang tidak keliru, tetapi juga belum tentu manfaatnya lebih banyak. Malah sebaliknya, cara seperti itu bisa lebih mudharat karena berpotensi memperluas distrust yang ada dalam masyarakat terhadap TNI, Polri, dan BNN. Setidaknya akan muncul kesan bahwa lembaga-lembaga yang memiliki kekuatan besar itu sangat sensitif terhadap pandangan yang dianggap kritis ttg ihwal yang sejatinya sudah menjadi rahasia umum. Pandangan negatif thd "reaksi cepat" pelaporan terhadap HA sudah mulai muncul seperti misalnya yang dikemukakan oleh tokoh ormas pemuda Muhammadiyah (http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/04/pemuda-muhammadiyah-pelaporan-haris-azhar-jadi-preseden-buruk). Terlepas dari setuju atau tidak dengan pandangan beliau, faktanya memang reaksi tsb ada. Jika kemudian menjadi polemik berkepanjangan dan kegaduhan, maka ujungnya akan sangat kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa. Seperti kata ungkapan, tak perlu menembak nyamuk dengan meriam.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment