Ungkapan yang berbunyi 'keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak', saya kira tepat untuk menggambarkan vonis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo terhadap terdakwa Muhammad Samhudi (MS), guru SMP Raden Rahmat, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Kamis (4/8/2016) lalu. Saya, yg bukan pakar hukum, tidak akan mengomentari putusan tsb dari sisi legal formal, tetapi lebih kepada sisi substantif yakni rasa keadilan. Sebab bagi saya apa yang dilakukan oleh Hakim PN Sidoarjo tsb adalah tipikal pelaksanaan penegakan hukum (paw enforcement) di negeri ini, khususnya di Pengadilan, yang lebih mengedepankan pasal-pasal tetapi mengabaikan rasa keadilan masyarakat.
Hakim-hakim di negeri ini merasa sudah 'aman' dan 'nyaman' dengan putusan-2 legalistik mereka, dan jika masyarakat bereaksi negatif, mereka hanya bilang "silakan banding" atau "silakan kasasi". Mereka seolah-olah adalah segelintir manusia yang tidak hadir sebagai bagian dari masyarakat, tetapi 'mengatasi' masyarakat, serta merasa bangga dengan statusnya yang bisa memutuskan nasib orang berdasar tafsiran mereka thd pasal-pasal. Apalagi jika mereka sudah berpretensi 'mewakili Tuhan', maka semakin lengkaplah keterasingan mereka dari kenyataan kehidupan.
Mengikuti pemberitaan media ttg kasus guru MS itu, bagi saya sudah teramat jelas bahwa telah terjadi kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat. Orang tua murid bahkan telah menjabut laporannya, sedang MS juga telah menjelaskan argumentasinya. Yang lebih penting lagi adalah reaksi publik mengenai kasus tersebut yang pada umumnya menganggap pelaporan thd MS adalah berlebihan. Namun dengan mengandalkan tafsir legal formal, Jaksa dan kemudian Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo berturut-turut menuntut dan memvonis MS melalui proses peradilan. Secara prosedural barangkali hal itu sah-sah saja, tetapi ditilik dari asas keadilan, saya mengatakan bahwa 'keadilan telah ditolak' oleh mereka.
Peradilan kasus ini tidak jauh bedanya dengan kasus-kasus pidan pencurian semangka dan cokelat serta potongan kayu yang pernah menghebohkan publik. Ia hanya mempertegas validitas ungkapan bahwa hukum di negeri ini, ibarat pisau yang "tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas." Dan hal itu bukan karena para Jaksa dan Hakim yang bodoh atau tidak punya keahlian dalam maslah ilmu hukum, tetapi karena hegemoni paradigma hukum di kalangan penegak hukum yang menganggap kepastian hukum sebagai panglima, sementara pemenuhan rasa keadilan hanya sebagai pemanis. Jika ada Hakim-2 yang berusaha menggunakan paradigma yang mengedepankan keadilan, maka akan mengalami marjinalisasi atau bahkan diupayakan agar tidak berperan.
Implikasinya, penegakan hukum di negeri ini sering tabrakan dengan realitas dan harapan masyarakat, sehingga kepercayaan pihak yg disebut terakhir tsb thd hukum menjadi semakin terkikis. Apalagi jika ditambah dengan lembaga peradilan sendiri yang pimpinannya tidak kompeten serta tak punya nyali utk melakukan perubahan visi. Lembaga peradilan bukan cuma menjadi asesori, tetapi berubah menjadi semacam monster bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. MS dan orang-2 kecil tak berdaya yg menjadi sang terlapor, hanya punya satu jalan, yaitu penjara. Para tukang teror, para koruptor, dan para pengedar narkoba yg uangnya milyaran, punya banyak jalan. Kalau perlu, dilindungi Hak Asasi mereka!
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment