Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) telah meluncurkan program pengampunan pajak (Tax Amnesty, TA) yg ditopang oleh UU No. 11 Th. 2016, disahkan pada 1 Juli 2016 lalu. Tujuan TA, sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (2), adalah: Pengampunan Pajak bertujuan untuk: a) Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; b). Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan c). meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.
Kebijakan TA sejak masih merupakan wacana telah menimbulkan pro dan kontra. Kurang dari dua minggu setelah UU diatas ditetapkan kini telah ada pihak yang mengajukan peninjauan ke MK (http://nasional.kompas.com/read/2016/07/10/15390201/uu.tax.amnesty.akan.digugat.ke.mk.ini.21.alasannya). Kendati demikian pihak yang mendukung UU tsb juga tidak sedikit, bahkan dukungan dari kalangan pengusaha, politisi, Parlemen, dan organisasi masyarakat sipil pun cukup. Dukungan tsb pada umumnya didasari oleh kepercayaan kepada Pemerintah bahwa instrumen kebijakan fiskal ini akan mampu membantu mengatasi beban berat yang harus ditanggung oleh negara, khususnya yang diakibatkan oleh praktik para pengemplang pajak raksasa; defisit APBN yang besar; dan pembiayaan pembangunan infrastruktur yg sangat diperlukan di seluruh wilayah NKRI.
Persoalannya, seperti yang sering terjadi, adalah apa yang tertulis dalam aturan dan kebijakan kemudian berbeda dg yang berlaku di lapangan. Bahkan persepsi publik mengenai TA sendiri tampaknya masih simpang siur, sehingga membuka peluang munculnya opini-2 yang justru bisa berbalik memukul PJ secara politik. Hal ini terutama ketika program TA kini dipersepsikan teleh bergeser targetnya; ia lebih cenderung mengejar target para wajib pajak (WP) yang berskala 'gurem', tetapi tidak cukup efektif untuk mengejar WP elit, khususnya yang menyimpan uangnya di luar negeri. Politisi dan ekonom serta mantan Dirjen Pajak, Fuad Bawasir (FB), misalnya mempertanyakan motif pergeseran tsb. Dia khawatir terjadinya pergeseran tsb karena WP elit yg seharus menjadi sasaran utama ternyata cuek. Mereka, masih menurut FB, "(t)entu saja ikut tapi hanya formalitas alias kecil saja; yg penting ikut Tax Amnesty agar bisa mendapatkan Surat Sakti Pajak sehingga tidak lagi diperiksa atau diobok-obok aparat pajak."
Sebagai orang yg tidak memiliki keahlian dlm soal perpajakan, tentu saya tdk punya kapasitas menilai statemen FB. Namun dari perspektif politik, saya kira PJ perlu serius merespon persoalan ini karena masalah pajak, sepanjang sejarah kita, merupakan perkara yang sangat sensitif secara politik. Jika TA kemudian menjadi isu politik, terutama jika ia telah dianggap sebagai ketidak adilan oleh rakyat kecil (termasuk pengusaha mikro, petani kecil, dll), maka otomatis akan menjadi isu politik yg strategis dan sensitif. PJ tidak bisa hanya menggunakan argumen beban biaya negara dan/atau pentingnya pembangunan infrastruktur saja, tetapi menunjukkan pula bagaiman Pemerintah serius mengejar para WP elit yg uangnya parkir di luar negeri. Secara politik, penggunaan isu penarikan pajak yang tak berkeadilan, khususnya di kalangan rakyat bawah, sangat mudah dan efektif karena ia langsung dan nyata-2 dihadapi rakyat dan mempengaruhi kehidupan ekonomi keseharian. Apalagi jika para pemungut pajak ternyata masih belum melakukan perubahan dalam praktik di lapangan, seperti kong-kalikong dengan para WP elit.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment