Dinamika internal elite PDIP terkait Pilkada DKI 2017, khususnya dalam mengenai dukungan thd pencalonan petahana, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP), alias Ahok, bisa saja merupakan indikasi adanya konflik internal yang serius di kalangan elitnya. Kendati tak tampak di permukaan dan, karenanya, kurang diperhatikan oleh para pakar dan pengamat politik, tetapi hal itu bukanlah suatu hal yang berlebihan atau tak bisa terjadi. Kegaduhan yang kini terjadi di kalangan elit PDIP mengenai pencalonan Ahok yang alot dapat dijadikan indikator adanya konflik tsb. Pertimbangan saya adalah sbb:
1) Fakta bahwa PDIP tidak memiliki calon yang bisa diunggulkan, baik dari kader sendiri maupun dari luar, untuk bisa mengimbangi Ahok, semestinya akan membuat elit partai tsb tidak lagi 'mbulet' dan gaduh untuk mendukung sang petahana dan dipasangkan dengan kadernya sendiri, yaitu Wagub DKI Djarot Syaiful Hidayat (DSH). Namun ternyata tidak demikian, sampai hari ini (26/8/16) belum ada tanda -2 keputusan final tsb diberikan.
2) Fakta bahwa para penolak Ahok masih terus melancarkan manuver yang sangat terang-2an dan keras, kendati Ketum DPP PDIP sudah memberikan isyarat dukungan pribadi thd Ahok, menunjukkan adanya semacam 'perlawanan'. Para penolak ini termasuk Hasto Kristianto (HK), Andreas Pereira (AP), Masinton Pasaribu (MP), Bambang DH (BDH), untuk menyebut hanya beberapa nama, adalah politisi-2 penting yang juga menempati posisi penting dlm struktur partai dan di Parlemen, sehingga tidak bisa dianggap enteng.
3) Ketidaktegasan DPP PDIP dalam merespon kiprah sebagian kadernya terlibat dlm Koalisi Kekeluargaan (KK) yg nota bene adalah kelompok penolak Ahok, menunjukkan bahwa sang Ketum tak dapat mengabaikan posisi tawar politik mereka. Namun demikian, para kader PDIP yg ada di dalam KK juga tak berkutik ketika beberapa parpol lain telah mengumumkan paslongub mereka.
4) Last but not the least, PDIP juga sampai sekarang belum mampu menunjuk alternatif paslongub yang punya kualitas dan kapasitas sebagai pengubah permainan (game changer) dlm Pilkada DIKI, melawan Ahok yang didukung Golkar, Hanura dan Nasdem!
Berdasarkan fakta-2 tsb, tidak terlalu berlebihan utk mengasumsikan adanya pergelutan yang serius di lingkaran elite DPP PDIP, kendati tidak terlalu tampak di permukaan. Para politisi yg relatif berusia muda seperti para penolak Ahok itu, tampaknya mulai gerah dengan kondisi di dalam elite partai yg tampak mengalami gejala inersia (kemandegan dan kejumudan) yg bisa berdampak makin tergerusnya kekuatan partai itu secara nasional. Inersia terjadi karena elit PDIP tidak lagi bisa membuat terobosan-2 kreatif dalam menjawab dinamika di luar yang berkembang cepat. PDIP akan mengikuti apa yg terjadi di Golkar, PPP, dan Partai Demokrat.
Jika asumsi di atas ada benarnya, maka ia menjelaskan mengapa kekuatan tawar PDIP, khususnya pengaruh Ketum Megawati Sukarnoputri (MS) cenderung mengalami erosi di Istana, kendati ia adalah partai yang berkuasa saat ini. Berbagai kasus mulai dari pencalonan Kapolri, reshuffle Kabinet dua kali, sampai soal pencalonan Gubernur DKI, menunjukkan lemahnya daya tawar politik PDIP vis-a-vis parpol dan kelompok kepentingan lain. Gejala inersia politik yg dialami oleh elit PDIP bukanlah fenomen unik. Kemandegan dan kejumudan terjadi ketika elit politik gagal melakukan upaya-2 pembaruan (termasuk suksesi kepemimpinan) di dalamnya. Semakin dibiarkan, permasalahan yg bisa menjadi bahan konflik akan makin menumpuk dan akhirnya menjadi trigger kegaduhan yg lebih luas.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment