Ibarat seorang gadis cantik yang harus menentukan pilihan, Gub Ahok hari-hari ini mungkin sedang berpikir keras akan mengambil langkah apa: memilih jalur perseorangan atau jalur partai atau kedua-duanya? Ahok tidak sedang menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk, tetapi beliau harus memilih yang paling baik diantara yang baik. Mengapa demikian? Sebab, menurut hemat saya, kalau hanya dillihat dari soal pencalonan saja, maka Ahok secara hitung-2an rasional sampai saat ini memiliki kans paling kuat utk lolos secara mudah. Bahkan kans utk menang Pilkada pun sampai hari ini (secara hitung-2an rasional) mantan Bupati Belitung Timur tsb masih tetap memimpin. Tetap jika dilihat dari sisi pasca-Pilkada, dalam arti bagaimana implikasi pemerintahan nanti, masalahnya menjadi tak sederhana.
Jika memilih jalur perseorangan, Ahok sudah hampir bisa dipastikan akan melaju utk menjadi calon Gubernur petahana, karena persyaratan dukungan dari para pemilih telah mencukupi. Terlepas dari perang urat syaraf soal jumlah mencapai 1 juta pendukung, tetapi syarat jumlah dukungan utk menjadi calon bagi Ahok sudah tercapai. Jika memilih jalur parpol, dukungan Golkar, Hanura, dan Nasdem juga sudah lebih dari cukup karena secara hitungan kursi di DPRD telah memenuhi syarat. Jika Ahok mau memilih menggunakan kedua-2nya, tentu saja akan lebih mudah lagi, walaupun secara legal formal, mekanismenya mungkin tidak diatur dalam UU Pilkada.
(http://megapolitan.kompas.com/read/2016/07/18/22054771/ahok.harus.putuskan.maju.perseorangan.atau.parpol.sebelum.3.agustus.2016?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd)
(http://megapolitan.kompas.com/read/2016/07/18/22054771/ahok.harus.putuskan.maju.perseorangan.atau.parpol.sebelum.3.agustus.2016?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd)
Namun demikian, masalahnya menjadi rumit ketika pilihan itu diproyeksikan dengan implikasi politik yang harus dihadapi jika Gub Ahok telah terpilih nanti. Kerumitan tsb bersumber pada relasi sang Gubernur dengan para pendukungnya dan relasi beliau sebagai Gubernur dengan DPRD. Dalam hal ini yg sangat utama adalah mengantisipasi dan merespon berbagai implikasi politik khususnya stabilitas pemerintahan dan kinerja manajemen pemerintahan terkait dengan relasi antara Pemerintah dan DPRD serta masyarakat sipil. Jika memilih jalur perseorangan, probabilitas utk memiliki pemerintahan yang stabil di DKI menjadi turun. Dan ini juga berarti destabilisasi pemerintahan lebih tinggi probabilitasnya jika parpol tidak sepenuhnya mendukung kebijakan-2 Ahok.
Implikasinya, relasi yang panas dan konfliktual seperti yang terjadi beberapa tahun terkahir ini akan berkesinambungan dan hal itu bukan saja merugikan kepentingan beliau tetapi juga pemerintahan dan rakyat di DKI. Ahok mungkin bisa menggunakan pengaruh pendukungnya jika terjadi konflik dengan DPRD, tetapi hasil akhirnya paling banter adalah seringnya terjadi kebuntuan dan kemacetan-2 dalam pelaksanaan kebijakan publik. Saat ini saja Pemda DKI sudah termasuk yang paling rendah penyerapan anggarannya, serta nilai LAKIP hanya sampai peringkat CC. Pemda DKI dibawah Gub Ahok kedepan tentu sangat memerlukan kerjasama yg efektif dengan DPRD dan hal itu hanya bisa terjadi jika relasi antara keduanya tidak sarat konflik.
Walhasil, kombinasi antara dukungan parpol dan masyarakat sipil tentu saja merupakan pilihan yang niscaya. Namun demikian hal itu berarti diperlukan kerja keras Gub Ahok dan Teman Ahok utk membuat suatu rumusan dan mekanisme kerjasama dan sinergi politik yang bisa diterima oleh parpol. Kompromi-2 politik mesti diambil sehingga mampu meminimalisasi terjadinya konflik-2 kepentingan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil terkait dengan insentif politik dan produk kebijakan-kebijakan publik yang nantinya menjadi program utama Pemda. Sebab bagaimanapun juga tidak ada dukungan politik yg gratis, sehingga pertukaran politik (political trade-off) pasti akan diperlukan.
Saatnya bagi Ahok dan Teman Ahok melakukan dialog yang positif dan produktif untuk memperoleh solusi win-win dalam menghadapi Pilkada dan, terutama, pasca-pilkada. Sebab kalau soal keterpilihan, secara hitung-2an rasional sampai saat ini rasanya sulit bagi lawan Ahok untuk menandingi. Tetapi masalah efektifitas pemerintahan pasca-terpilih adalah soal yang bisa berbeda sama sekali. Dan hal itu sangatlah penting untuk menjadi bahan pertimbangan beliau dan para pendukungnya.
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment